FPI atau Front Pembela Islam dianggap representasi umat islam Indonesia. Bahkan, tak jarang, mereka sendiri mendaku diri sebagai suara muslim, bahkan mereka mendaku diri sebagai pembela utama amar ma’ruf nahi mungkar di negeri ini. Tapi, benarkah demikian? Atau FPI hanya memainkan citra semata?
Mengemas kritik dengan fasisme dan rasisme memang biasanya disukai, khususnya di masyarakat yang sudah terpapar penyakit populisme. Misalnya teriakan anti Asing dan Aseng menjadi familiar di kalangan masyarakat muslim sekarang ini. Jualan isu-isu seperti akan sangat laris, khususnya di tahun-tahun politik sekarang ini. Sebab dengan memanfaatkan isu-isu seperti akan mudah mengarahkan pilihan politik tanpa kekritisan di dalamnya. Itulah yang FPI citrakan selama ini.
Ketenaran Front Pembela Islam (disingkat FPI) melejit pasca Aksi Bela Islam (ABI) jilid I hingga III tersebut. FPI dianggap mampu mengkonsolidasikan umat Islam yang selama ini terpencar oleh berbagai perbedaan. Majunya atau didaulatnya Habib Rizieq Shihab sebagai Imam Besar Umat Islam, menegaskan bahwa FPI dibawah komando beliau menjadi organisasi masyarakat terdepan di kalangan umat muslim.
Dengan semakin tenar FPI di mata masyarakat Muslim, membuat isu dan narasi yang dikeluarkan oleh mereka seakan-akan suara dari keseluruhan umat Islam. Dengan mendompleng nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), FPI terus memproduksi isu dan narasi untuk mengkritik pemerintahan yang dianggap kotor dan culas oleh mereka.
Vedi Hadiz, seorang Professor di Australia, mengidentifikasi gerakan yang dikomandoi oleh FPI ini sebagai gerakan populisme kanan. Gerakan seperti menurut Vedi Hadiz akan melakukan serangan ke atas (pemerintah) dan ke bawah (kelompok-kelompok minoritas), yang kedua ini dianggap merusak keutuhan kelompok muslim. Narasi yang diproduksi oleh FPI akan berusaha memelihara kebencian kepada pemerintah yang dianggap kotor juga kelompok-kelompok minoritas, dalam kasus Indonesia akan mengarah pada kelompok Tionghoa, Syiah, Komunis, LGBT, liberal, dan lain-lain.
Narasi-narasi kebencian ini menjadi mudah diterima disebabkan ketenaran FPI di mata kebanyakan umat muslim. Ketenaran inilah membuat segala pengetahuan (baca isu atau narasi) yang diproduksi FPI adalah kebenaran mutlak. Permasalahan seperti ini oleh Francis Bacon adalah sebuah penyimpangan kekuasaan. Adagium terkenal dari Francis Bacon “Knowlegde is Power” tepat sekali menggambarkan keadaan yang terjadi di Indonesia saat ini dalam kasus FPI.
Francis Bacon, filsuf asal London, mencetuskan sebuah teori pengetahuan bernama metode induksi. Dalam buku berjudul Novum Organum yang diterbitkan di abad 17 ini, Bacon mengkritik bagaimana keterburu-buruan silogisme yang dibangun oleh kalangan Aristotelian (penganut ajaran Aristoteles). di Novum Organum, Bacon menjelaskan kepada kita semua bahwa fungsi pengetahuan adalah untuk menaklukkan alam demi manusia sebagai penguasa. Oleh sebab inilah, Bacon merumuskan ide soal Idols yaitu Idola yang akan menghambat penguasaan manusia atas alam ini.
Ada empat macam idola dalam pemikiran Francis Bacon, yaitu pertama, Idols of the tribe, yaitu di mana pengetahuan hanya akan diukur oleh pandangan manusia sendiri. Akibatnya manusia tidak lagi objektif akan objek tersebut yang seharusnya ditimbang atau dipandang sesuai kapasitasnya. Kedua, Idols of the cave, kekeliruan yang dibuat oleh manusia karena kecenderungan penilaian disandarkan pada watak, stereotype, pendidikan, perasaan suka atau tidak suka. Ketiga, Idols of Market-place, manusia cenderung keliru melakukan penilaian karena dipengaruhi kepercayaan penuhnya pada kata-kata dan bahasa. Keempat, Idols of theatre, adalah persepsi masa lampau manusia yang membuatnya keliru dalam mempersepsikan realitas.
Jika kita melihat FPI melalui kacamata Francis Bacon, maka akan sangat terlihat dengan memainkan unsur-unsur negatif dalam meneguhkan posisinya sebagai ormas terdepan dalam umat Islam. Dengan kelihaiannya, FPI terus memproduksi pengetahuan yang disesuaikan dengan sudut pandangnya sendiri sehingga kadang tidak lagi objektif melihat sesuatu tersebut.
Saat FPI mengangkat isu keterancaman umat Islam, penangkapan Ulama, Islam akan dihancurkan, umat Islam tidak lagi dianggap di negeri ini adalah produksi pengetahuan yang diselubungi dengan watak manusia yang cenderung defensif atau membela diri saat terancam. Isu-isu di atas juga dibangun dengan kekuatan bahasa dan kata-kata, bahkan di zaman media sosial ini kekuatan ini ditambah dengan kekuatan foto yang diberikan kekuatan untuk menambah unsur negatif dalam mengaburkan penilaian manusia atas realitas yang dihadapi.
Isu-isu di atas kemudian dikemas dalam bingkai ketakutan akan kebangkitan PKI, untuk persepsi keterancaman umat Islam akan menambahkan kekaburan pandangan untuk melihat kebenaran. Sebab pengalaman umat muslim dengan golongan PKI dianggap selalu negatif, sehingga apapun yang memiliki warna komunisme ataupun PKI akan langsung ditolak mentah-mentah tanpa ada proses tabayyun yang mendalam. Dengan menghasilkan pengetahuan atau isu ini, menaikkan FPI sebagai pahlawan atau komandan dalam “perjuangan” umat muslim.
Kehati-hatian dalam menerima informasi adalah isu yang paling diusung oleh Francis Bacon. Sebab, menurut Bacon, pengetahuan yang dianggap logispun kadang tidak luput dari kepentingan-kepentingan yang ingin melanggengkan kekuasaan. Dengan memegang kekuasaan, pengetahuan bisa saja dimanipulasi dengan tirai-tirai kepalsuan yang telah disebutkan Bacon di atas. Saat kekuasaan sudah di tangan makan akan memudahkan untuk menggerakkan massa yang bisa disetir ke mana saja sebab absennya sikap kritis di dalam massa.
Spanduk, Pamflet, iklan bahkan bikin pernyataan bersama untuk menolak hoax, sebenarnya hanyalah bagian kecil dari usaha untuk mengurangi peredaran hoax yang sudah banyak melukai kehidupan kita. Oleh sebab itu, proses tabayyun yang ditawarkan oleh Bacon bisa menjadi salah satu solusi kita bersama melawan pengetahuan yang sudah terkontaminasi akan kepalsuan, yang diproduksi oleh mereka yang ingin memanfaatkan kita untuk kepentingan mereka sendiri.
Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin