Salah satu larangan bagi perempuan yang sedang haid adalah berjima’. Para ulama bersepakat atas keharamannya berdasarkan firman Allah Swt:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Mengenai suami yang menggauli istrinya saat haid, Imam Syafi’i membagi hukumnya menjadi dua. Pertama, bagi suami yang tidak mengetahui bahwa istrinya sedang haid, tidak mengerti keharamannya atau lupa bahwa istrinya sedang haid maka tidak ada dosa dan kafarat baginya (lihat Ensiklopedi Imam Syafi’i, Hikmah : PT Mizan Publika, 2008, cet 1, hal 444)
Pendapat ini berdasarkan sabda Nabi Saw:
“Sesungguhnya Allah memaafkan (perbuatan) umatku, karena kekeliruan, lupa dan keterpaksaan” (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi dan lainnya)
Kedua, bagi suami yang menggauli istrinya dengan sengaja, mengetahui keadaan istri yang sedang haid dan mengerti keharamannya, maka ia telah melakukan dosa besar. Namun apakah ia harus membayar kafarat?
Imam Syafi’i dalam versi qoul qodimnya mengatakan bahwa suami yang menggauli istrinya diwajibkan membayar kafarat, jika menggaulinya di saat darah sedang keluar maka wajib membayar kafarat sebanyak satu dirham, namun jika menggaulinya di saat darahnya sudah berhenti maka cukup membayar setengah dinar.
Pendapat ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، قَالَ: يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ بِنِصْفِ دِينَارٍ
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw mengenai seseorang yang menggauli istrinya sedangkan ia (istrinya) sedang haid. Beliau Saw bersabda “Hendaklah ia bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar” (HR Ibnu Majah, Abu Daud, Nasai)
Namun Imam Syafi’i kemudian merevisi pendapatnya, dalam versi qoul jadidnya beliau mengatakan, suami yang menggauli istrinya yang sedang haid tidak wajib membayar kafarat, tetapi harus meminta maaf, memohon ampun dan bertaubat kepada Allah Swt. Ia juga sangat dianjurkan (mustahab) untuk bersedekah sebanyak ketentuan kafarat yang diwajibkan dalam qoul qodimnya.
Sebagaimana qoul jadid Imam Syafi’i, Imam Malik dan Abu Hanifah juga menyatakan bahwa suami yang menggauli istrinya saat haid tidak dikenakan kafarat, namun ia harus memohon ampunan kepada Allah Swt.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal memberlakukan kafarat sebesar satu dinar (saat darah sedang mengalir) atau setengah dinar (saat darah berhenti). (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Al-Hidayah) juz 1, hal 43.
Alasan Imam Syafi’i merevisi pendapatnya dikarenakan hadis tentang kafarat tersebut masih diperselisihkan kevalidannya, Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama ahli hadis menyepakati kelemahan dan kerancuan hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas tersebut, lantaran pada sanadnya terdapat perawi bernama Abdul Karim Abu Umayyah yang dikenal matruk.
Di sisi lain, Imam Tirmidzi dan Imam Nasa’i tidak menyatakan kedhaifan hadis ini dalam sunan mereka. Bahkan Imam al-Hakim meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab al-Mustadrak ‘ala ash-shahihain dan menyatakan bahwa hadis itu shahih, namun Imam al-Hakim dikenal sebagai orang yang mudah menyahihkan hadis (tasahul).
Mengenai perkara ini, jumhur ulama menyatakan bahwa tidak ada kafarat bagi suami yang menggauli istrinya yang sedang haid.
Wallahu a’lam bisshawab