Henk Schulte dalam disertasinya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menyimpulkan bahwa masyarakat Bali membutuhkan dunia luar (wisatawan, investor, dan tenaga kerja murah), namun sekaligus mereka masih merasa khawatir (terancam) dengan dunia luar pula (investor nakal, dekadensi Barat, dan Islam). Jean Couteau, doktor bidang sejarah dari EHESS Paris yang sekarang tinggal di Bali pernah pula menulis artikel berjudul “Bali et l’Islam” sepanjang 50 halaman. Dia menerangkan, kontak agama Islam yang dibawa melewati kerajaan Blambangan dan Majapahit memang berlangsung tegang namun umumnya berlangsung secara damai, seperti yang terjadi di bagian timur dan Utara Bali.
Akulturasi Hindu-Islam di Bali terjadi sangat harmonis. Komunitas Mayong di Bali, sampai sekarang masih ada yang melestarikan pelbagai senjata yang dirajah dengan kalimat basmalah dan syahadat yang dirawat sebagai warisan suci secara turun temurun. Di Kudus, tepatnya di sekitar menara Kudus, sampai sekarang masih ‘dilarang’ menyembelih Sapi meskipun untuk ‘persembahan’ Idul Adlha. Hal yang sama terjadi di Bali, tepatnya di Banjar Madura, Sanur, dan pura-pura di sekitar Bratan, dimana daging babi tidak diperkenankan untuk dijadikan persembahan, meskipun untuk Dewa Gede Madura dan Batara Paakan. Tradisi semacam ini disebut nyelam; yang diambil dari kata selam, atau Islam.
Orang Bali pun tak jarang berobat pada Balian Slam, yang dianggap memiliki ‘kuasa’ pengobatan lebih ampuh dari balian-balian tradisional di Bali. Balian Slam adalah dukun yang memiliki asal-usul muslim di sana. Dari praktik Balian Slam ini, peneliti semisal C. Hooykaas menyimpulkan asosiai antara Islam dengan Hindu di bali terjadi secara ‘berlebihan’; dilihat dari mantra-mantra Islami dengan media daun lontar, yang tidak jarang menggunakan asma-asma Allah, memahami kosmos dalam skema I Jibrail (Jibril), I Mikhail (Mikail), I Sapil (Israfil), dan I Srail (Iszrail), menyebut-nyebut organ-organ penyembuhan dengan nama nabi-nabi dan khalifah-khalifah Islam, semua hal di atas sudah cukup menggambarkan Islam sebagai kekuatan eksotis asing yang memiliki kekuatan digdaya.
Wartawan Inggris bernama James Mossman pernah mewawancarai Kolonel Dahlan Djambek, tokok PRRI, secara eksklusif. Dari wawancara ini, Mossman membuat buku berjudul Rebels in Paradise (Indonesia’s Civil War) dan menyimpulkan beberapa kelemahan PRRI sehingga berhasil ditumpas Soekarno.
“Bagaimana Anda yakin Soekarno tidak akan mengirim tentara kemari dan menyerang Anda?” Tanya Mossman kepada Kolonel Dahlan Djambek. “He hasn’t got the guts (Soekarno itu tidak punya nyali—berani)!” jawab Djambek. Inilah yang disimpulkan Mossman bahwa PRRI terlalu menganggap enteng Soekarno. Sikap ini mengangetkan PRRI ketika Pekanbaru dikuasai Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), dan sarang PRRI di Padang diserbu militer Indonesia dibawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani.
Hal kedua, yang membuat PRRI tak berhasil menguasai Soekarno, adalah sikap (terlalu) percaya diri bahwa pemberontakannya dibenarkan secara agama Islam. Sebelum tertembak mati di tempat persembunyiannya di Sumatra Barat, Kolonel Djambek mengirim surat kepada Kolonel Suryosumpeno. Dalam surat tersebut, ia tidak akan pernah mengangkat sumpah setia pada UUD 45, dan terutama tidak akan setia pada Soekarno. Djambek beranggapan, setia pada UUD 45 dan Soekarno adalah bentuk syirik yang nyata, karena kesetiaan hanya kepada Gusti Allah Yang Esa. Saat Sjafrudin Prawiranegara, Perdana Mentri PRRI, ditanya Mossman tentang pendirian Djambek ini, Sjafrudin menyahutnya dengan tertawa: “Soekarno tidak akan berani menyakiti kita. Tuhan ada di pihak kami. God is on our side.!”
Soekarno, pada tanggal 30 September 1957 pernah ‘digranat’ oleh utusan Kartosoewirjo. Sejak 1949, Kartosoewirjo memang resmi menyatakan berperang kepada Soekarno. Barulah pada 1950 maklumat Kartosoewirjo, yang secara tegas menjadi awal dimulainya perangnya, disiarkan: “Bunuh Soekarno. Dialah penghalang Negara Islam.”
Pasca pemberontakan Muso di Madiun tahun 1948, Bung Karno pernah berteriak kepada rakyatnya: “Pilih Muso atau Soekarno?!” dan tentulah mayoritas memilih berdiri di belakang Bung Karno. Tak terkecuali menghadapi Kartosoewirjo. Terkait gerakan DI/TII-nya Kartosoewirjo, sikap Soekarno sangat jelas; ia tidak pernah membiarkan anak bangsa yang hendak mendirikan Negara Islam di Indonesia, atau Negara Komunis. “Republik Indonesia bukan Negara agama, tetapi adalah Negara Nasional,” kata Soekarno, “Agama tidak memerlukan territorial, agama cuma mengenai manusia.”
Soekarno sangat menyayangkan ketika agama, dalam hal ini adalah Islam, dijadikan ‘alat’ perjuangan, dengan dalih apapun, melalui cara-cara yang kerap kali radikal dan anarkhis, karena sudah dapat dipastikan Negara ini akan dibuat berduka karenanya.
Pemahaman Islam yang teguh dijalani Soekarno membuat pribadinya sangat pengampun. Sjarifudin Prawiranegara, yang berasal dari Masyumi, diampuni beliau meski memberontak dan bergabung dengan PRRI. Moh. Natsir yang juga dari Masyumi dan mengikuti Sjafrudin, tak kalah diampuni dan direhabilitasi. Ahmad Husen, Proklamator PRRI, pernah bersimpuh di hadapan Soekarno, menangis dia karena berterimakasih lantaran diampuni sebagai pembelot Negara. Soekarno menariknya berdiri, mengusap air matanya: “Kamu juga anakku,” Kata Soekarno.
Setelah aku bercerita tentang warga Bali, PRRI, dan Soekarno, siapakah yang sontoloyo melihat Islam, sekarang?