Pada sidang gugatan eks-HTI hari Kamis, 15 Maret 2018 di PTUN Jakarta saya berbicara di hadapan majelis hakim PTUN, para pihak yang bersengketa dan para pengunjung sidang yang membludak. Saya ditunjuk dan diutus sebagai saksi ahli agama yang dengan surat resmi dari PBNU. Para kolega saya di PBNU tentulah sudah bermusyawarah dan punya pertimbangan matang untuk mengutus saya. Dalam persidangan kemarin, saya sebagai saksi ahli berkewajiban memberikan keterangan yang sebenar-benarnya di bawah sumpah.
Oleh karena itu, dalam menyampaikan berbagai sudut pandang saya tentang HTI tidak ada dusta apalagi fitnah kepada HTI. Untuk itulah saya sebelumnya telah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Saya lakukan riset kecil-kecilan dengan mengumpulkan data pustaka berupa referensi agama (kitab kuning) dan khususnya kitab-kitab asli Hizbut Tahrir yang berbahasa Arab untuk diklasifikasi, diolah, dianalisisa dan lalu saya simpulkan.
Semua itu telah saya susun dalam bentuk paper sekitar 13 halaman dengan ketikan satu spasi. Paper ilmiah tersebut sudah saya bacakan di dalam sidang dan kemudian telah saya pertanggungjawabkan yang juga secara ilmiah. Setelah itu yang terpenting adalah bahwa keterangan saya bisa masuk akal dan diterima oleh majelis hakim PTUN, sedangkan yang lebih penting lagi saya berharap eks-HTI kalah dipersidangan tersebut. Intinya HTI wajib bubar demi keutuhan NKRI yang kita cintai.
Perkara dalam persidangan sesekali diiringi perdebatan yang keras antara saya dengan penggugat adalah hal yang wajar. Tetapi yang kurang ajar biasanya di luar sidang. Sebab sebagaimana telah saya duga sebelumnya, setelah sidang di media sosial ada aktifis atau mungkin simpatisan HTI yang mem-bully saya dengan stigma-stigma negatif untuk tujuan merendahkan seperti liberal, tidak kredibel, pemfitnah HTI, pembela penista agama, ahoker, pentolan kecebong dan sebagainya.
Tetapi itu semua saya anggap biasa sajalah, saya maklumi, mungkin karena hanya sampai di situ tingkat pemahamannya. Barangkali semangat beragama mereka itu lebih tinggi dari kecerdasan akalnya untuk memahami substansi agama. Orang berilmu agama mendalam dan luas wawasan kebangsaannya itu pasti menjadi manusia yang realistis, pasti bijaksana dan tidak gampang menyalahkan orang lain karena dorongan hawa nafsunya.
Saya (baca: PBNU) mendukung dan mengapresiasi sikap tegas dan berani dari pemerintah yang berani membubarkan HTI. Semua warga bangsa Indonesia yang cinta tanah air dan tidak rela bentuk final NKRI diganti dengan sistem khilafah islamiyah seperti yang diperjuangkan mati-matian oleh HTI pasti jauh lebih banyak yang mendukung sikap strategis pemerintah RI tersebut. Sudah saatnya yang waras jangan mengalah. Menurut hukum agama HTI wajib dibubarkan dan sikap pemerintah yang telah membubarkan dengan mencabut izinnya adalah sah dan langkah yang tepat.
HTI adalah bagian dari Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani pada 14 Maret 1953 di al-Quds, Palestina. HTI baru mulai mencemari dan didirikan di Indonesia pada tahun 1980-an. Ini jelas setelah Indonesia merdeka. Artinya, sesungguhnya HTI sama sekali tidak punya andil berjihad melawan para penjajah dari bumi Indonesia, tidak ikut memerdekakan dan tidak pula mempertahankannya. Namun aneh bin ajaib, HTI justru paling getol dan super lantang memekikkan suara demi mengganti NKRI dengan sistem dan bentuk negara khilafah islamiyyah yang bersifat internasional di bawah kendali satu orang khalifah saja.
Aktifitas politik HTI di Indonesia oleh para tokohnya ditutup-tutupi sebagai kegiatan dakwah islam yang sejalan dengan sila pertama Pancasila dan kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945, kata mereka. Oleh karena itu, saat dibubarkan hingga kini dimunculkan berita yang memfitnah pemerintah dan Banser NU anti Islam dan anti ulama. Ketahuilah, di NKRI ini umat Islam sudah bebas beramal, beribadah dan berdakwah.
Dakwah yang sah dibubarkan hanyalah dakwah yang berisi aktifitas politik untuk mengganti NKRI dan untuk merebut kekuasaan dari tangan pemerintahan yang sah secara konstitusi dan sah pula dalam perspektif agama. Buktinya, dakwah-dakwah yang dilakukan oleh para juru dakwah dari NU, Muhammadiyah dan lain-lain tidak ada yang pernah dibubarkan atau dilarang oleh pemerintah kita.
HTI sebagai cabang Hizbut Tahrir jelas merupakan partai politik, bahkan satu-satunya partai politik islam internasional, yang aktivitasnya politiknya bertujuan untuk meraih kekuasaan dan mengganti negara-negara bangsa di seluruh penjuru dunia dengan sistem pemerintahan dan bentuk negara khilafah islamiyyah ‘alamiyyah (internasional). Padahal, menurut hukum Islam haram hukumnya mendirikan negara di dalam negara.
Dakwah HTI itu jauh berbeda dengan dakwahnya para ulama/kyai NU. Dakwah HTI untuk bersifat politik dan haus akan kekuasaan, sedangkan dakwah para kyai/ulama NU adalah untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan NKRI.
Dalam berbagai referensi pokok Hizbut Tahrir yang saya baca, jelas-jelas HTI itu megharamkan dan menganggap demokrasi secara mutlak sebagai nidzamu kufrin (sistem kekafiran) sedangkan negara kita menyepakati demokrasi Pancasila, melarang menaati perundang-undangan kita yang dibuat oleh manusia karena menurut HTI tidak bersumber dari akidah islamiyyah, dan juga mengharamkan nasionalisme dan cinta tanah air yang didakwahkan oleh para ulama NU untuk menjaga dan menyelamatkan bangsa dan negara kita ini.