Islam dan politik dianggap dua hal berbeda, padahal bisa saja keduanya bergandengan. Dalam sejarah penyebaran agama-agama besar di dunia, tak sedikit dari para pemuka agama yang meminjam kendaraan para elit penguasa untuk menyebarkan atau membumikan ajaran-ajarannya. Begitupun dengan penguasa, demi untuk menguatkan posisi politiknya sebagai sang emperior, ia juga meminjam kendaraan para pemuka agama untuk melegitimasi ijtihad politiknya.
Hasilnya, terjadi hubungan simbiosis mutualisme dalam struktur jaringan antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, jika meminjam istilah pakar politik Islam seperti al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah , antara ulama dan umara merupakan dua soko guru yang mempunyai peran penting dalam menjaga keberlangsungan dan eksistensi suatu agama dan ajaran tertentu demi tegaknya stabilitas suatu sistem pemerintahan yang kokoh.
Begitupun dengan penyebaran agama Islam, secara historis kita tidak bisa memungkiri adanya singkronisasi yang kuat antara ulama dan umara’.
Di dalam sistem teokrasi misalnya, seringkali kita jumpai peran Qadhi yang dijabat oleh para ulama mampu memberikan pertimbangan atas kebijakan politik yang dikeluarkan oleh sultan demi kemaslahatan rakyat pada umumnya serta umat Islam secara khusus. Sehingga dengan demikian,Islam tumbuh berkembang dan menyebarkan pengaruhnya ke penjuru dunia, berkat adanya sistem politik yang telah dikonsep sedemikian rupa dengan rapi dan mapan.
Politik yang menurut asumsi sebagian orang bukanlah bagian daripada agama (terlebih Islam itu sendiri), pada kenyataanya secara de factomerupakan satu sisi yang tidak bisa dipungkiri eksistensinya. Berangkat dari fenomena inilah , J. Philip Wogemen (pakar politik kenamaan) menguraikan betapa eratnya hubungan antara agama dan politik, terlebih dalam konteks modern.
Menurutnya, relasi antara politik dan agama terbagi menjadi 3 pola umum: (1) Pola teokrasi, di mana agama menguasai negara, yang ke (2) erastianisme, di mana negara menguasai negara, dan yang ke (3) antara agama dan negara sama-sama menguasai dan tidak terlepas satu sama lain, mengingat kehidupan beragama dan bernegara sama-sama memiliki dimensi yang cukup fundamental, yaitu dimensi sosial.
Pakar lain yang mempunyai gagasan yang hampir mirip dengan J. Philip Wogeman adalah Donal Uegene Smith, ia menguraikan hubungan agama dan politik sejatinya tidak terlepas dari tiga hal, yaitu (1) otoritas dogmatis di mana kebenaran diklaim sebagai sesuatu yang bersifat mutlak, (2) otoritas terarah atau pengaturan dan ketentuan yang telah diformat dengan baik dan bagus, dan (3) pelembagaan otoritas atau integrasi yang rapi antara ajaran agama dan politik.
Kaitan antara Islam dengan tiga hal yang telah dirumuskan oleh Smith di atas adalah pemahaman holistikterhadap Islam yang merupakan seperangkat ajaran yang diyakini mutlak kebenarannya tanpa ada keraguan sedikitpun yang tertuang di dalam sebuah kitab suci yaitu al-Qur’an.
Ia berisi undang-undang dan regulasi yang telah ditetapkan Allah selaku Tuhan, di mana ketetapan tersebut dikemas dalam sebuah yurisprudensi komprehensif yang dikenal dengan syariat.
Syariat di sini cakupannya sangat luas sekali dengan tafsiran yang beragam dan menembus beberapa dimensi, baik dimensi agama, sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu,kaitan antara tafsir syariat dengan pemaparan Smith pada poin ketiga sebagaimana penulis singgung di muka adalah terletak pada fakta historis, di mana tatkala Rasulullah tiba di Madinah pasca hijrah dari Mekkah dengan membentuk suatu lembaga untuk menampung kekuatan Islam.
Seiring derap langkahnya, lembaga tersebut kemudian dikenal sebagai negara Madinah dengan undang-undangnya yang tertuang dalam piagam Madinah. Dari piagam Madinah itulah kemudian Rasulullah s.a.w. membentuk Negara kota atau City State yang menjadi cikal bakal dari Negara bangsa atau Nation State, yaitu satu-satunya Negara yang mampu menyaingi dan mengalahkan konsep tata Negara yang dibangun oleh emperium Romawi dan Persia.
Keberhasilan Rasulullah itu tidak lepas dari kemampuan beliau dalam meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial di tengah-tengah masyarakat multikultural seperti Madinah.
Lalu, dari Madinah inilah Islam menyebar ke seluruh pelosok negeri hingga ke Eropa, Asia, Afrika, bahkan sampai ke Nusantara, serta menjadi sebuah agama yang bertahan dan dipeluk oleh sebagian besar masyarakatnya dengan konsep kasih sayang dan toleransi yang melekat pada hati sanubari.
Kesimpulannya, Islam dan politik merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, ibarat suami-istri yang harus memperkuat satu sama lainnya(yasuddu ba’duhum ba’dhan). Di samping itu, kedua-duanya jugaibarat dua sisi mata uang yang saling melekat satu sama lain.
Dari sisi ideologis misalnya, Islam dan politik merupakan dua wajah yang sifatnya sangat fundamental dalam konteks interaksi sosial umat manusia, sehingga hal ini menjadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan pakar politik dan agama.
Begitu juga beberapa teori tentang agama dan politik telah dipaparkan oleh para ilmuwan sepanjang sejarah, karena kajiannya yang menarik sehingga teori tersebut semakin berkembang sampai saat ini. bahkan di beberapa perguruan tinggi, disiplin ilmu politik dan agama seringkali dipadukan sehingga dengannya diharapkan adanya kombinasi yang harmonis tanpa harus memahami keduanya secara terpisah. Wallahu A’lam…!