Beberapa hari lalu, seorang teman yang saya kenal pula di dunia nyata—demi membedakan istilah teman dunia maya—mengunggah sebuah artikel di akun facebooknya. Artikel yang ia bagikan itu mengulas tentang Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang memberikan pembelaan kepada kaum Syiah. Tentu saja kita tahu bahwa bahasa pembelaan ala Cak Nun bukanlah bahasa yang sederhana untuk dipahami.
Jika kita terbiasa membaca tulisan Cak Nun, atau menghadiri setiap pengajian beliau, kita akan paham bahwa ada banyak lipatan makna di balik setiap kata dan ucapan. Pernyataan beliau bahkan tidak cukup dianalisis lewat ilmu-ilmu pragmatik yang berbicara sebatas relasi teks-konteks, namun harus parsial dengan berbagai cabang ilmu dan fenomena.
Teman saya tadi tidak hanya membagikan artikel, namun juga menambahkan sebuah keterangan sebagai penegasan atas posisinya, yakni: “Beginilah jika budayawan ikut-ikutan bicara soal agama. Itulah mengapa saya lebih setuju Cak Nun mengurusi budaya saja.”
Ada dua hal yang saya tangkap. Pertama, teman saya berpendapat bahwa sebaiknya Cak Nun yang ia posisikan sebagai budayawan tidak usah turut mengurus persoalan-persoalan agama. Namun, teman saya sepertinya tidak sadar, bahwa ia juga hanya seorang guru bahasa Indonesia, tetapi sekaligus mengurus dua persoalan; agama dan kritik terhadap budayawan. Jika memakai logikanya, bukankah seharusnya ia mengajar saja, tak usahlah mengajukan kritik, apalagi kepada tokoh sekaliber Cak Nun.
Kedua, makna ‘budayawan yang ia pahami sudah pasti sangat sempit dan keliru. Jika definisi agama adalah sebatas yang terdapat dalam pikiran atau batas pengetahuan teman saya, terminologi budaya dalam konteks ini justru dapat melampaui agama, sebab budaya berkaitan dengan segala hal yang berkaitan dengan tata laku manusia. Pelabelan budayawan pada Cak Nun, artinya, gelar tersebut lebih mutakhir dibanding para agamawan lugu yang memposisikan ayat al Qur’an, hadist dan fikih, namun membela sudut pandangnya saja.
Kali lain, di sebuah saluran televisi kabel, saya menyimak sebuah pengajian yang anehnya tidak sedang mengaji kitab tertentu secara mendalam, namun lebih mirip agenda bergosip. Demikian transkripsinya:
“Ada banyak orang ngaku ulama di luar sana senang jika tangannya dijadikan rebutan oleh banyak orang kemudian dicium sambil menunduk-nunduk oleh santrinya. Ada juga orang-orang yang memperebutkan minumannya, eh mereka malah senang. Ini ulama gila hormat…”
Saya pernah mengaji di pesantren salaf tradisional. Saya tentu saja akrab dengan situasi yang diprasangkakan oleh penceramah televisi itu. Saya tahu betul, guru-guru saya bukanlah orang yang gila hormat. Para guru itu adalah orang yang sangat baik kualitas ibadahnya kepada Allah SWT, mencintai Rasulullah SAW dan sangat tawadhu serta khidmat terhadap ilmu. Mereka mengajar mengaji sejak selepas subuh hingga larut malam.
Waktu yang tersisa tidak dihabiskan dalam tidur melainkan berdoa kepada Allah untuk kebaikan para santrinya. Santri-santrinya, tentu saja tidak hanya anak-anak muda yang mudah untuk menerima pengetahuan, namun juga para orang tua usia lanjut yang sulit memahami ilmu-ilmu baru. Santri, juga banyak yang merupakan kaum marjinal, yakni mereka yang miskin sehingga memiliki berbagai batasan untuk memperoleh akses pada berbagai hal. Yang paling penting untuk dicatat, para guru itu tidak mematok bayaran untuk segala aktivitas yang meminta seluruh kenyamanan dan waktunya.
Berbicara dengan kaum marjinal seringkali tidak mudah. Para antropolog juga praktisi budaya mengakui hal itu. Namun, sekali seseorang mampu meraih hati masyarakat, mereka akan mendapat sebuah privilege kepercayaan yang begitu besar. Barangkali, hal ini terkait dengan budaya kolonialisme di masa lalu, bahwa narasi kelas bawah cenderung dikondisikan untuk begitu tunduk dengan kaum elit penguasa serta kaum priyayi. Persoalan inilah yang tak dipahami penceramah yang mengedepankan prasangka.
Selain itu, setiap komunal juga memiliki simbol masing-masing dalam mengungkapkan segala sesuatu, termasuk tindakan. Pesantren, yang sangat menghormati otoritas keilmuan misalnya, memiliki tradisi sendiri bagaimana menaruh adab pada guru. Berebut tangan seorang guru untuk dijabat dan dicium, bagi para santri bukanlah wujud sebuah ketakutan atau penghormatan yang berlebihan, namun rasa cinta yang sangat pada seorang guru dengan kepribadian yang sejuk dan dirindukan.
Ada sebuah cerita tentang Abu Ayyub Al Anshory, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW. Suatu hari ia merasa sangat rindu dengan Kanjeng Nabi Muhammad. Ia pun datang ke makam beliau SAW dan menempelkan pipinya di nisan makam Rasul. Ketika banyak orang mempertanyakan tindakannya tersebut, Abu Ayyub berkata, “Aku menempelkan pipiku pada nisan Rasulullah itu bukan berarti aku menyembah Kanjeng Nabi, tapi karena aku sangat rindu padanya. Aku rindu sekali sebab aku mencintainya…”
Sementara ada sebuah kisah lain tentang seseorang yang sangat rajin mengkritik tindakan-tindakan yang dianggap bid’ah, seperti apa yang dilakukan oleh Abu Ayyub. Seorang tersebut adalah Ibnu Taimiyyah. Anehnya, ketika Ibnu Taimiyyah wafat, para pengikut Ibnu Taimiyyah pun justru berebut air bekas Ibnu Taimiyyah.
Mungkin juga sebab saking cintanya. Bukankah rasa cinta kadangkala berada di luar batas-batas kesadaran dan menyebabkan perilaku aneh-aneh? Wajar saja, namanya juga hati manusia, bukan?
Cinta, adalah sesuatu yang melampaui hal-hal remeh serupa materi.
Di perkotaan yang sarat dengan laku kapitalisme, kita akan sulit menemukan cinta. Pola-pola aktivitas kapitalisme menuntut laku yang serba cepat dan instan, yang mereka jual dengan jargon profesionalisme.
Itulah mengapa, pengajian-pengajian di perkotaan juga berbiaya mahal. Agama adalah komoditas, lalu segala unsur yang melingkupinya menjadi obyek komodifikasi. Sedang cinta, berlawanan dengan hal semacam itu.Cinta sejati memerlukan waktu untuk tumbuh. Ia bergerak dengan lembut dalam kesunyian.
Budaya keilmuan yang benar memerlukan nuansa khas semacam itu. Para guru, ulama atau kiai, memiliki cinta dan dicintai sebab bersabar memelihara tradisi. Otoritas, pada akhirnya adalah wajah lain dari keteladanan, yang tidak mudah dipahami oleh kaum-kaum yang memperlakukan agama sebatas perdagangan yang memerlukan transaksi. Dalam perspektif cinta, agama bahkan telah lepas dari hitung-mengitung imbalan pahala dan dosa. Ia hanya mengerti untuk terus berjalan mencari kemutlakan, yakni Dia, Zat yang asal. []
Kalis Mardiasih, Penulis dan Penerjemah lepas. Dapat disapa di @mardiasih