Fakta ini setidaknya mengagetkan sebagian masyarakat beragama yang tentunya mendambakan kehidupan rukun dan damai antar umat beragama.
Dengan menggunakan embel-embel identitas keagamaan (muslim) sebagai nama kelompoknya, alih-alih berusaha menebarkan kedamaian, sebaliknya MCA berperan menjadi produsen hoax dan ujaran kebencian (hate speech) yang tentu saja perbuatan tersebut sangat jauh dari nilai dan ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Berdasarkan fakta tersebut, banyak kalangan yang menyayangkan penggunaan identitas keagamaan (muslim) sebagai nama kelompok mereka. Menurut hemat penulis, penyematan kata “muslim” sebagai nama sindikat produsen hoax ini lebih condong pada strategi gerakan. Hal ini sangat erat dengan term war (perang) yang juga mereka gunakan sebagai nama.
Dengan menggunakan nama “muslim,” MCA memainkan peran identitas untuk mendapatkan simpati masyarakat muslim Indonesia. Penulis melihat bahwa MCA berusaha untuk menumbuhkan patriotisme umat Islam untuk mendukung atau percaya dengan konten-konten yang mereka sebarkan.
Di samping itu, strategi ini juga merupakan sebuah upaya untuk melindungi diri (self-defence) dari lawan-lawan mereka. Jika lawan mereka berasal dari background yang sama, umat Islam, mereka akan menciptakan opini publik untuk mereduksi status keislaman kelompok tersebut.
Maka tidak heran jika kita sering melihat beberapa tokoh, website, atau akun media sosial Islam yang tidak sependapat dengan ideologi yang diusung MCA, kemudian mereka diserang dengan penyematan label liberal, antek kafir, agen yahudi, komunis, keturunan PKI, dan sebagainya. Hal itu merupakan sebuah upaya untuk menjauhkan masyarakat Islam dari lawan MCA dan secara otomatis MCA akan mendapatkan legitimasi sebagai representasi muslim.
Contoh lain adalah jika kelompok yang berlawanan dengan MCA ini dari kalangan pemerintah, maka MCA pun akan menggiring opini publik dengan memproduksi konten-konten yang menyatakan bahwa pemerintah anti terhadap umat Islam. Sebagaimana isu-isu tentang kriminalisasi ulama yang juga merupakan bagian dari strategi ini.
Sedangkan penggunaan kata “army” merupakan sebuah upaya untuk menarik simpati umat Islam untuk merapat dengan kelompok ini.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Loustarinen dalam tulisannya yang berjudul “Finnish Russophobia: The Story of an Enemy Image (1989) yang mengatakan bahwa berdasarkan pandangan Durkheimian perang akan meningkatkan peran sosial yang begitu berarti bagi kehidupan seseorang. Karena seseorang dapat berpartisipasi (berjuang) dan terlibat dalam kejadian yang sangat berarti bagi kelompoknya bersama dengan anggota kelompok lainnya. Dan di sinilah rasa patriotisme yang penulis sebutkan di atas bekerja.
Terlebih lagi isu yang digunakan adalah identitas agama, maka antusias untuk berpartisipasi menjadi sangat tinggi, terutama bagi kelompok muslim extrimis.
Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya kita tidak mudah untuk menerima berita tanpa mengetahui lebih lanjut tentang kebenarannya, apalagi sampai terpengaruh dengan menyebarkannya ulang. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Q.S. al Hujurat: 6.
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu mushibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Bukan kah kanjeng Nabi pun juga mengatakan “Al Muslimu man salima al-muslimuuna min lisaanihi wa yadihi. (H.R.Bukhori). Yang jika hadis tersebut diberi syarah (keterangan) ala santri jaman now mempunyai arti “muslim adalah orang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari─bahaya yang ditimbulkan oleh─lidah─seperti menyampaikan berita bohong dan ujaran kebencian─dan tangannya─termasuk mengetik dan turut serta menyebarkan ulang keduanya.” Wallahu a’lam
Aminuddin Hamid, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.