Kita Patut Bertanya, Mengapa Masjid Dijadikan Arena Politik?

Kita Patut Bertanya, Mengapa Masjid Dijadikan Arena Politik?

Masjid dalam sejarah kerap dijadikan mobilsasi untuk kekuasaan, bagaimana seharusnya?

Kita Patut Bertanya, Mengapa Masjid Dijadikan Arena Politik?

Seorang teman berkata, masjid boleh dijadikan sebagai arena berpolitik. Ia mencontohkan di zaman Nabi  pusat pemerintahan berada di dalam masjid. Juga di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara seperti Demak Bintara. Ia menantang untuk menemukan satu saja bukti bahwa kerajaan Demak Bintara memiliki pusat pemerintahan selain di masjid.

Saya pun membenarkan argumen itu karena memang tidak terbantahkan. Namun yang saya pertanyakan adalah mengapa logika kerajaan digunakan untuk membenarkan politisasi masjid di era demokrasi? Yang menjadi masalah adalah politisasinya bukan untuk menguatkan peran masjid dalam kehidupan yang lebih baik, tetapi lebih pada menebar kebencian dan permusuhan antar anak bangsa.

Di era Nabi Muhammad SAW, masjid memang digunakan sebagai pusat berbagai kegiatan umat muslim, mulai ibadah, pendidikan, hingga pusat pemerintahan. Di kultur Arab saat itu tidak mengenal adanya istana atau kraton. Tradisi itu kemudian berubah ketika Islam memasuki masa dinasti di mana pemimpin negara tidak menyatu perannya dengan pemimpin agama sebagaimana Nabi Muhammad SAW. Di Damaskus, pusat pemerintahan negara adalah istana, juga di dinasti-dinasti selanjutnya. Alhambra di Andalusia Spanyol adalah salah satu prasasti sejarah yang menggambarkan bagaimana kerajaan Islam saat itu memiliki istana dengan arsitektur yang luar biasa.

Di Jawa, Demak Bintara adalah kerajaan Islam pertama. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, beberapa keturunan Brawijaya didampingi Walisanga bermigrasi ke Demak untuk membangun sebuah kerajaan. Hal pertama yang dilakukan adalah membangun masjid sebagai simbol agama Islam dalam kerajaan yang akan dibangun. Di situlah mula-mula pusat pemerintahan dijalankan.

Apakah kerajaan Demak tidak memiliki Kraton? Sampai saat ini sejarawan belum bisa menyimpulkan. Yang jelas, ketika membicarakan kerajaan Jawa, unsur yang tidak akan hilang ada empat: masjid, kraton, alun-alun, dan pasar. Nah, di Demak, ketiga komponen itu masih ada sampai sekarang. Hanya saja Kraton yang belum ditemukan.

Para sejarawan membuat dugaan bahwa Kraton itu dibumihanguskan sebagaimana kebiasaan orang Jawa ketika beralih kekuasaan. Bahkan kerajaan sebesar Majapahit saja tidak bisa ditemukan bentuk Kratonnya seperti apa. Perlu dicatat bahwa pada akhir kekuasaan Demak, di sana terdapat ontran-ontran yang membuat ibu kota kerajaan dipindah ke wilayah Pajang. Lagi-lagi di Pajang tidak bisa ditemukan bukti istana kerajaannya setelah pusat kerajaan Islam berpindah ke Mataram. Kerajaan Mataram Islam (Ngayogyakarta Hadiningrat) adalah kerajaan yang masih eksis hingga saat ini. Bukti Kratonnya masih bisa dilihat di sisi alun-alun dan masjid.

Agaknya menggunakan dalih sejarah untuk membenarkan politisasi di masjid menjadi kurang relevan. Ditambah saat ini masjid memang khusus digunakan untuk beribadah selain belajar dan menjadi pusat berkumpulnya masyarakat. Politik yang diajarkan di masjid harusnya adalah politik kerakyatan yang membahas soal kesenjangan ekonomi dan pengentasannya, problematika di tengah masyarakat dan berbagai hal produktif lainnya. Bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan lima tahunan seperti pilkada atau pilpres.

Penggunaan masjid sebagai arena penggalangan suara politik praktis sudah mempersempit peran masjid dalam arti sesungguhnya. Jika dulu masuk masjid membuat hati tenteram, tetapi jika dijadikan lahan politik praktis suasana hati bisa terbakar. Tegakah kita jika jamaah masjid berkurang hanya gara-gara pesta lima tahunan?