Abu Sa’d al-Malini bernama lengkap Abu Sa’d Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Hafsh bin Khalil al-Anshari al-Harawi al-Malini as-Shufi. Ia adalah salah seorang sufi sekaligus ahli hadis ternama yang menjadi guru dari para ahli hadis setelahnya. Dilihat dari namanya ia berasal dari keluarga Anshar. Sedangkan penisbatan al-Malini merupakan nisbat daerah tempat lahirnya. Malin adalah sebuah desa di daerah Jaihun yang terletak sekitar dua farsakh (+- dua Mil) dari kota Harah (sebuah kota besar yang cukup terkenal dan merupakan salah satu kota induk daerah Khurasan yang sekarang masuk wilayah Afganistan, Iran dan Turkmenistan).
Pengembaraan keilmuan Abu Sa’d dimulai dari menelusuri dan menapaktilasi daerah-daerah yang pernah ditempati para sahabat dan tabiin. Ia kemudian mengembara ke berbagai daerah untuk berguru kepada ulama-ulama terkemuka di masanya. Ia berjumpa dan berguru kepada banyak ulama besar seperti Ibrahim bin Isa, Ahmad bin Ja’far bin Hamdan, dan ulama-ulama lainnya. Ia wafat di Mesir pada tahun 412 H/1022 M.
Kondisi Sosial, Politik, dan Agama di Masa al-Malini
Abu Sa’id al-Malini hidup di pertengahan kedua abad keempat hingga awal abad kelima Hijriah di masa kilafah Abbasiyah. Pada masa ini kekuatan khilafah Islamiyyah sedang berada di masa penurunan yang ditandai dengan munculnya negara-negara bagian seperti Fathimiyyah di Mesir, Hamdaniyah di Syam, Buwaihiyyah di Irak, Saljukiyyah di Timur.
Segaris dengan nasib politik umat Islam yang terpecah menjadi negara-negara kecil, kondisi keberagamaan di masa Abu Said juga mengalami banyak masalah. Perpecahan kelompok-kelompok dalam Islam semakin meruncing. Klaim-klaim kebenaran serta tuduhan sesat kepada kelompok yang tak sepaham juga muncul dengan pesat.
Di sisi lain, geliat intelektualitas di masa ini justru mengalami perkembangan dan kemajuan yang signifikan. Konon, di masa ini, intelektualisme di dunia Islam merupakan salah satu fase keemasan. Hal ini ditandai dengan munculnya sarjana-sarjana Islam di berbagai bidang dan karya-karya mereka yang melimpah ruah.
Ahmad Amin dalam Dhuhr al-Islam menjelaskan faktor-faktor melajunya perkembangan intelektualisme di dunia Islam pada saat itu. Menurutnya, munculnya negara-negara kecil di era Abbasiyah ini membuat mereka berlomba untuk membuat kemajuan dalam berbagai bidang di negara-negara tersebut. Para sarjana dan sastrawan diberi tempat terhormat. Perpustakaan-perpustakaan penuh dengan buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu juga dimanfaatkan dengan baik oleh para pelajar.
Empat Puluh Hadis Sufistik
Fuat Sezgin memuat nama Abu Sa’d sebagai salah seorang sufi besar abad kelima Hijriyah yang memiliki karya dalam bidang tasawuf. Nama kitab yang tertera di berbagai naskah adalah Kitab al-Arba’in fi Syuyukh as-Shufiyyah. Penamaan serupa juga ditemukan dalam berbagai literatur tarajim (kitab-kitab biografis). Sebagaimana tergambar dalam nama kitabnya, kitab ini mengulas empat puluh hadis yang diriwayatkan oleh para imam sufi yang disertai dengan cerita-kisah hikmah para periwayatnya. Mengapa hanya memuat empat puluh hadis? Bagi para pelajar hadis, penamaan kitab “arba’in” merupakan hal yang biasa dijumpai dan masyhur dengan sebutan “arbainiyyat”. Jauh sebelum Imam al-Malini, telah banyak tokoh sufi yang juga menulis karya semacam ini. Sebut saja misalnya, Abdullah bin Mubarak, Sufyan al-Tsauri, dan lainnya (Haji Khalifah, Kasyf Dzunun, vol. I, hal. 52).
Terdapat sebuah riwayat hadis yang mungkin menjadi inspirasi para penulis kitab “arba’in” ini, yaitu hadis:
“Siapa yang hafal empat puluh hadis maka di hari kiamat kelak Allah Swt. akan mengumpulkannya bersama para ahli ilmu.”
Mengenai kitab “Arba’in” karya Abu Sa’d sendiri, kitab ini berisi empat puluh riwayat hadis yang diriwayatkan oleh empat puluh guru sufi yang berisi tentang zuhud, tawakkal, keutamaan mencari ilmu, pembersihan jiwa, etika pergaulan, dan jenis-jenis etika umum lainnya yang merupakan bagian dari ajaran tasawuf. Sistematika penulisan kitab ini sebagaimana metode penulisan para ahli hadis, yakni dengan mencantumkan sanad periwayatnya.
Keutamaan atau kelebihan kitab “Arba’in” karya Abu Sa’d ini selain menggunakan metode hadis dengan mencantumkan sanadnya (yang memudahkan untuk melakukan penelusuran kesahihannya), juga isinya yang penuh dengan muatan kisah dan hikmah para asketik. Di tengah zaman yang banyak ditemukan orang yang merasa paling benar dan paling suci serta kerap menyalahkan orang lain ini, kitab “mungil” ini layak untuk dijadikan sebagai bacaan kita. Kitab ini mengantarkan kita untuk mengarungi kisah-kisah arif para sufi yang kadang kala “menyindir” para pembacanya. Tertarikkah anda mebacanya? Selamat membaca dan semoga menginspirasi untuk menjadi teladan!