Shalat wajib dikerjakan bagi setiap muslim yang sudah memenuhi syarat seperti dewasa (balig), berakal sehat dan lain sebagainya. Dalam mazhab Syafi’i, mengqadha shalat yang ditinggalkan itu hukumnya wajib, sekalipun shalat itu ditinggalkan karena sakit. Namun bagaimana bila shalat belum diqadha, tapi orang yang sakit itu meninggal? Apakah keluarganya boleh mengqadha shalat orang tersebut?
Kitab Fathul Muin menyebutkan bahwa as-Subki pernah mengqadha shalat keluarganya yang sudah meninggal. Zainudin al-Malibari menyebutkan bahwa perbuatan mengqadha tersebut terdapat dalam khabar, pendapat sahabat. Namun, Zainudin tidak menyebutkan dengan jelas apa khabar yang dimaksud itu. Karenanya, Syekh Abu Bakar Syatha, penulis I’anah at-Thalibin menyebutkan bahwa khabar itu antara lain disebutkan dalam Sahih al-Bukhari. Berikut khabar tersebut:
وَأَمَرَ ابْنُ عُمَرَ، امْرَأَةً، جَعَلَتْ أُمُّهَا عَلَى نَفْسِهَا صَلاَةً بِقُبَاءٍ، فَقَالَ: «صَلِّي عَنْهَا» وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، نَحْوَهُ
Artinya; Sahabat Ibnu Umar pernah menyuruh seorang perempuan untuk mengqadha shalat ibunya yang pernah ditinggal. Waktu itu ibunya bernazar untuk melakukan shalat di Masjid Quba, namun meninggal sebelum melakukannya. “Qadhakanlah nazar shalat ibumu itu,” perintah Ibnu Umar pada perempuan tersebut. Hal ini juga merupakan pendapat yang disampaikan Ibnu Abbas.
Terkait pendapat sahabat Ibnu Abbas, Imam Ibnu Hajar berpendapat bahwa perempuan itu juga diperintah untuk berjalan kaki menuju Masjid Quba sebagaimana nazar yang dilakukan ibunya. Selain itu, Imam Ibnu Hajar juga mengutip pendapat Ibnul Munir, yang dimaksud صَلِّي عَنْهَا di atas adalah shalat biasa, bukan shalat qadha.
Namun demikian, amal shalat yang dilakukan perempuan itu pahalanya dapat dihadiahkan untuk mengganti nazar shalat ibunya yang belum sempat dilakukan. Ibnul Munir menambahkan, kasus seperti ini hanya khusus bisa dilakukan oleh anak untuk menggantikan ibadah orangtuanya. Oleh karena itu, selain anak orang yang bersangkutan maka tidak diperbolehkan.
Atas dasar khabar ini, Syekh Abu Bakar Syatha menyampaikan bahwa sekelompok ulama Syafi’iyyah membolehkan qadha shalat untuk orang yang sudah meninggal. Selain itu, Syekh Abu Bakar Syatha juga mengutip perkataan Ibnu Burhan bahwa qaul qadim (pendapat Imam Syafi’i ketika di Irak) menyatakan bahwa ahli waris orang yang meninggal itu wajib mengqadha shalat yang ditinggalnya.
Dalam pendapat lain di kalangan ulama Syafi’i, ahli waris hanya diwajibkan memberi fidyah dengan satu mud (3/4 liter) beras untuk fakir-miskin sebagai ganti dari shalat yang ditinggal keluarga yang meninggal. Jadi, setiap satu shalat wajib yang ditinggal itu dibayar dengan beras satu mud. Semakin banyak shalat yang sempat ditinggal oleh salah satu anggota keluarga yang meninggal, maka semakin banyak pula fidyah yang dibayarkan.