Islam mendapatkan tentangan, khususnya tenang makna kebhinekaan. Bagaimana seharusnya membuat islam itu menjadi agama yang keren dan melindungi sesama?
Fakta yang terjadi belakangan di masyarakat kita adalah kian sensitif terhadap kebhinekaan. Bahkan merasa diri sebagai yang paling berhak atas Indonesia, sehingga hanya golongan dan kelompoknya sajalah yang harus diakomodir. Sisanya dianggap masyarakat kelas dua belaka.
Selain itu, adanya upaya penyeragaman semakin masif dengan mudah menjadi takfiri (menyalahkan) orang yang berbeda paham dan keyakinannya. Menurut saya ini hal lucu.
Saya sendiri masih mikir keras memahami logika bagaimana bisa ada orang Indonesia yang tidak suka kebhinekaan, disaat mereka sendiri hidup dalam negara yang bersemboyan bhineka tungga ika. Kecuali mereka memang menganggap semboyan itu sebagai bagian sistem thogut Indonesia dan meng-khilaf-ah kan diri sebagai solusi mutlak. Naudzubillah.
Lebih lucu lagi jika ada orang bersembunyi dibalik jubah agama untuk merongrong kebhinekaan. Ini jelas lelucon tidak lucu. Padahal sudah jelas dalam agama, apalagi dalam Islam, kebhinekaan adalah keniscayaan.
Syekh Abdul Halim Mahmud, seorang ulama Mesir menuliskan satu sabda Rasulullah yang populer “Akan berkelompok-kelompok umatku hingga mencapai sekitar tujuh puluh sekian kelompok. Semua masuk surga kecuali satu”, bahkan waktu lainnya.
Islam mengajarkan merawat kebhinekaan dan perbedaan-perbedaan menjadi sesuatu hal yang patut disyukuri. Rasulullah bersabda “Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmah”, jika kemudian Rasulullah sendiripun mengamini kebhinekaan dalam Islam, saudara muslim yang anti-perbedaan dan merasa paling benar mengikuti siapa? Padahal tidak ada satupun manusia di Bumi yang paling ma’shum (terpelihara dari kekeliruan memahami ajaran agama) tentang Islam.
Islam Merawat Kerukunan Kebhinekaan
Seandainya diriNya mau membuat kita beriman, dengan kemaha-segalaNya Dia mampu melakukan itu. Namun urung dilakukan. Sehingga sudah cukuplah landasan kita memahami bahwa berbedaan dalam beragama bukanlah sesuatu yang harus dirisihkan. Tidak ada untungnya sama sekali terus bertikai dan membatasi pergaulan dengan pemeluk agama lain. Semua perbedaan harus bisa kita terima di Indonesia.
Saya menyakini, semua agama memiliki tujuan dan fungsi untuk membimbing memiliki akhlak yang baik (akhlakul karimah). Secara umum dalam agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) akhlak yang baik ditekankan dalam menjalin relasi kepada manusia.
Prof Quraish Shihab mengatakan dalam buku Islam yang Saya Anut, Allah berpesan kepada umat Yahudi lewat Nabi Musa yang dikenal The Ten Comendement (Sepuluh Firman Allah) kita dapat menemukan penekanan terhadap akhlak, seperti dilarang menghujat, membunuh, zina, pencurian, berbohong dan berniat untuk melakukan dzolim kepada orang tua. Nabi Isa menyimpulkan pokok Kristen dengan dua hal, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Matius 22: 37-40). Nabi Muhammad pun bersabda “Aku diutus tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak”.
Penjelasan diatas memberi tahu kita dengan jelas bahwa akhlaklah yang harus dikedepankan menyikapi perbedaan-perbedaan daripada sibuk memperselisihkan dan mencari siapa paling benar. Titik perbedaan bukanlah hal mudah untuk dikompromikan. Namun, kita harus fokus pada titik persamaan agar tidak selalu berselisih paham dan merasa damai dalam kebhinekaan yang ada.
Bahkan lebih jauh, dalam sejarah Islam. Rasulullah pernah berjanji memberikan keamanan kepada penganut agama Nasrani yang berlaku untuk seluruh umat nasrani di dunia, bahwa mereka berada dalam perlindungan Allah dan pembelaan Muhammad Rasulullah menyangkut harta benda, jiwa dan agama. Termasuk juga keluarga mereka, tempat-tempat ibadah mereka dan segala sesuatu yang berada dalam wewenang mereka.
Rasulullah juga berjanji melindungi, membela mereka dan tempat-tempat ibadah mereka serta tempat-tempat pemukiman para rahib dan pendeta-pendeta. Begitupun juga tempat-tempat suci mereka. Rasulullah pun berjanji melakukan segala janjinya selayaknya melakukan pembelaaan kepada diri dan keluarga dekat Rasul serta orang-orang Islam. Karena demikian, kaum muslimin pun berkewajiban memberi perlindungan, pembelaan kehormatan melindungi mereka dari segala macam keburukan dan kaum muslimin memiliki hak dan kewajiban dengan umat agama lainnya di mata negara.
Rasulullah bahkan memasang dirinya untuk memberi perlindungan kepada umat agama lainnya. “Barang siapa menyakiti kafir dzimmi, maka aku (rasulullah) akan menjadi lawannya di hari kiamat” sabda Rasulullah. Jika kemudian ada sekolompok umat muslim, melakukan teror, baik verbal apalagi fisik kepada umat agama lain. Saya masih mikir keras, sesungguhnya nabi mereka siapa?
Islam Keren; Ramah Tidak Marah
Saya memahami bahwa Islam sebagai agama adalah keyakinan, dan keyakinan tidak masuk akal dipaksakan kepada orang lain. Cara terbaik bagi kita untuk mensyiarkan agama dengan memperlihatkan langsung; peraktek menunjukkan sikap ar rahman dan ar rahim, menghindari perilaku kasar, mengkafirkan, demo hari jumat dan sensitif ketika disinggung.
Muslim zaman now, harus mampu menjaga kebhinekaan dengan mengambil nilai-nilai universal Islam yang agung untuk diterapkan dalam keseharian. Nilai-nilai tersebut yaitu keadilam, kemakmuran, bersaing melakukan kebaikan, melakukan pembelaan terhadap yang terdzalimin, melindungi dan menjaga negara dari usaha-usaha oknum yang memecahbelah. Hubbul wathon minal iman, mencintai negara bagian dari iman.
Penutup, saya teringat sebuah kitab klasik yang sering dijadikan Gus Dur rujuakan memperjuangkan kebhinekaan yaitu al Mustashfa, karya al Ghazali. Sufi besar tersebut menerangkan bahwa tujuan aturan agama adalah memberikan jaminan keselamatan keyakinan, keselamatan fisik, keselamatan profesi, kehormatan tubuh dan pemilikan harta. Jika kemudian pemeluk agama menggunakan dalil agamanya untuk marah-marah kepada umat agama lain, sungguh dia telah keluar dari esensi agamanya. Wallahu a’lam Bishowab.