Pada saat Penilaian akhir semester SMA/ Madrasah Aliyah pada tanggal 05 Desember 2017 polemik dan protes muncul di beberapa daerah mengenai munculnya soal mata pelajaran fikih kelas XII yang dinilai justru mempromosikan ideologi khilafah. Respon keras dilakukan oleh Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama Jombang. Menrut ISNU Jombang pengajaran materi khilafah di SMA justru akan membangkitkan ideologi pembentukan negara khlafah. Dalam konteks Indonesia, ia merupakan cita-cita yang sedang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), namun menjadi sistem yang diharamkan oleh Pemerintah karena bertentangan dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang perlu diperhatikan di sini adalah pertama, apakah kurikulum mata pelajaran fikih pada materi ‘Pemerintahan Islam’ yang dirumuskan oleh Kementerian Agama mengarah pada mempromosikan serta menjustifikasikan sistem khilafah islamiyah sebagai satu sistem yang harus diperjuangkan untuk ditegakkan oleh umat Islam di Indonesia? Kedua, khilafah dalam kazanah fikih klasik, terlepas dari ketidakcocokkannya dengan sistem negara bangsa yang dianut Indonesia, memang memunculkan khilafah sebagai sistem yang sesuai dengan fikih Islam pada saat itu.
Sejauh pembacaan saya, materi ‘Pemerintahan Islam’ pada mata pelajaran fikih berdasarkan kurikulum yang dibuat oleh Kementerian Agama tidak mengarah kepada penegakkan negara khilafah. Hal ini bisa terlihat dari Standar Kompetensi serta Tujuan Pembelajaran yang tertulis dalam silabus. Bahkan dalam buku modul resmi Madrasah Aliyah (MA) yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI tahun 2016, materi ini disajikan dengan pandangan yang sangat moderat sesuai dengan kondisi Indonesia yang majemuk.
Pemahaman ulang perihal pengertian khilafah, dalam modul resmi ini, tidak dimunculkan sebagai satu ideologi yang difahami oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Namun disajikan menyesuaikan dengan pandangan fikih yang sangat modern. Di dalam buku ini misalnya ditekankan secara jelas bahwa pokok dari pendirian sistem pemerintahan Islam adalah menegakkan nilai-nilai luhur Islam di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia. Sehingga saya rasa, secara isi sangat relevan dengan misi kebangsaan kita saat ini.
Lebih jauh dalam buku tersebut ketika membahas syarat-syarat pemimpin, poin pertama yang dalam khazanah fikih klasik harus ‘beragama Islam’ sama sekali tidak dimunculkan sebagai syarat. Penekanan semangat kebangsaan dan penekanan bahwa sistem pemerintahan Indonesia saat ini sudah sesuai dengan apa yang digariskan Islam, bahwa sistem pemerintahan Islam adalah untuk mencapai tatanan masyarakat yang adil, makmur, egaliter, menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, dan menjaga stabilitas sosial sangat ditekankan dalam modul yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI.
Namun memang patut disayangkan bahwa soal-soal ujian yang muncul di sekolah-sekolah justru mengarah kepada justifikasi penerapan bentuk negara khilafah. Seolah, khilafah adalah satu sistem yang diajarkan oleh agama Islam. Jombang hanyalah satu kasus, di Bogor, yang dalam naskah soal tertulis disusun oleh Kelompok Kerja Madrasah- Madrasah Aliyah (KKM-MA) Provinsi Jawa Barat muncul jenis soal yang serupa. Soal sejenis muncul pada Ulangan Akhir Semester 2016/2017. Soal ini diujikan pada 06 Desember 2016, dan naskah soal Penilaian Akhir Semester tahun 2017/2018. Soal ini diujikan pada tanggal 05 Desember 2017.
Dari sini bisa dilihat adanya ketidaksesuaian-ketidaksesuaian tersebut. Misalnya soal nomor 1 pilihan ganda PAS tahun 2017/2018 menanyakan sistem pemerintahan yang mengacu kepada dasar-dasar syariat Islam. Jawaban yang tersedia pada kunci jawaban adalah ‘khilafah’. Jadi dalam soal-soal ujian pada dua periode tersebut memang mengarahkan siswa untuk memahami bahwa khilafah adalah sistem yang diajarkan oleh syari’at Islam. Maka pada tahap inilah pemerintah harus mengambil sikap yang tegas jika memang serius menganggap HTI dengan gagasan khilafahnya mengancam keutuhan NKRI.
Gus Dur ketika memberikan pengantar Buku Ilusi Negara Islam, yang terbit pada tahun 2009, misalnya mengatakan bahwa kalangan yang mengkampanyekan ideologi khilafah sudah sangat dalam memasuki lembaga-lembaga pendidikan kita. Artinya, ini bukanlah perkara remeh.
Peran pemerintah untuk memastikan guru, terutama dalam kasus ini adalah guru fikih, untuk mempunyai satu pandangan yang selaras dengan kalangan Islam moderat dan pemerintah terkait sistem pemerintahan Islam yang kompatibel dengan semangat kebangsaan Indonesia adalah langkah yang sangat penting. Karena para pendidiklah yang mengajarkan materi-materi tersebut. Pendidik adalah ujung tombak pertempuran ideologi khilafah dengan Islam moderat yang menjunjung nilai-nilai kebangsaan di sekolah-sekolah.
Meski demikian, khilafah sebagai salah satu kazanah keilmuan yang bersifat ijtihadi tetap tidak boleh dihapuskan. Ia harus tetap dipelajari dengan semangat pembaharuan yang moderat, pemaknaan yang segar dan sesuai dengan semangat kebangsaan. Pengungkapan perihal sejarah khilafah, kontekstualisasi sistem khilafah dalam dunia modern serta semangat keterbukaan di dalam masyarakat yang majemuk menjadi sangat penting.
Selain itu kesadaran bahwa khilafah sebagai produk fikih adalah suatu gagasan lentur yang lahir dalam konteks sosial tertentu. Jika ini dilakukan, maka pengajaran fikih di sekolah akan selalu selaras dengan nilai-nilai kebangsaan di Indonesia.
Wallahu a’lam