Islam bukan hanya mengatur relasi antara manusia dan Tuhan atau sesamanya. Ia juga mengatur hubungan manusia dengan Alam. Al-Qur’an, kitab suci bagi umat muslim memiliki perhatian kepada Alam. Menurut Yusuf al-Qardlawi, itu bisa dilihat dari nama-nama surat dalam al-Qur’an yang menggunakan nama-nama makhluk alam raya seperti hewan (al-Baqarah, al-An’am, al-Fiil, al-‘Adiyaat, an-Nahl, an-Naml, dan al-‘Ankabut), buah-buahan (at-Tin), dan lain sebagainya (al-Hadiid (besi), ar-Ra’du (petir), an-Najm (bintang).
Di samping itu, menurut Tantawi Jauhari, ada sekitar 750 ayat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang alam. Dalam penelusuran Prof. Quraish Shihab, ayat yang berisi penjelasan mengenai alam seringkali diakhiri dengan perintah untuk merenungkannya. Maka dari itu, Alam merupakan ayat kauniyah yang diperintahkan oleh Allah agar direnungkan oleh manusia.
Bukan hanya direnungkan, Islam juga memerintahkan agar alam ini dikelola dengan baik oleh manusia yang ditunjuk sebagai khalifah Allah. Manusia dilarang merusak bumi tempat mereka berpijak. Maka dari itu, kelestarian alam merupakan tanggung jawab manusia. Jika terjadi bencana, manusia-lah yang harus bertanggung jawab dan menanggung beban akibatnya.
Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia disuguhi berita-berita bencana alam di berbagai daerah, mulai dari gunung meletus, tanah longsor, dan banjir. Selain memporak-porandakan harta benda, bencana juga telah menghilangkan banyak nyawa. Mengapa bencana rutin terjadi? Salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah ketidakseimbangan aktivitas mengelola alam. Atau bisa jadi karena ketidakseimbangan dalam memperhatikan alam.
Sejauh mana perhatian kaum agamawan—misalnya—terhadap alam? Lihat saja khotbah-khotbah di masjid-masjid, seberapa besar porsi materi yang memotivasi untuk mengelola alam secara bijak? Atau, sejauh mana pakar lingkungan dilibatkan atau didengarkan pendapatnya dalam aktivitas pembangunan? Biasanya, ajakan untuk mengelola alam dengan baik muncul ketika sudah terjadi bencana. Kata Slank, mengapa harus tunggu bencana?
Allah menitipkan atau mewariskan alam ini kepada manusia agar dijaga dan dikelola dengan baik. Bumi merupakan tempat manusia untuk beribadah kepada Tuhan. Jika bumi rusak karena bencana yang disebabkan oleh ulah manusia, ibadahpun tidak akan terlaksana dengan sempurna.
Bukankah sebuah paradoks, manakala kita sedang sujud di bumi Tuhan, pada saat yang sama kita juga sedang berkontribusi dan berpartisipasi merusaknya? Bukankah aneh, ketika aku mendaku membela Tuhan tetapi pada saat yang sama aku merusak alam-Nya? Saudara-saudara, mengelola alam dengan baik dan tidak merusaknya adalah melindungi keberlangsungan terlaksananya ajaran agama di muka bumi ini (hifzh ad-din).
Terorisme—dalam bentuk paling ekstrim dengan pengeboman yang tentu merusak lingkungan—jelas bertentangan dengan semangat membela agama. Bukankah al-Qur’an sendiri telah menyatakan dalam QS. Al-Isra’ ayat 44: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
Jika seorang muslim benar-benar meyakini bahwa seluruh yang ada di dunia ini bersujud dan bertasbih kepada Allah, tentu ia tidak akan mau menjadi martir dalam agenda terorisme, apalagi yang mengatasnamakan agama. Tindakan terorisme yang mengatasnamakan agama, selain memperburuk citra agama, merusak lingkungan, juga pembunuhan terhadap akal sehat.
Maka dari itu, upaya membangun toleransi antar umat beragama, seharusnya juga mengambil bagian dalam kerjasama melindungi kelestarian lingkungan. Toleransi tidak sekadar menghormati perbedaan, melainkan menjadikan perbedaan tersebut sebagai basis untuk melakukan sesuatu yang produktif, salah satunya menjaga kelestarian lingkungan.
Wallahu A’lam