Seorang mahasiswi Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta yang sedang menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kawasan Kebayoran Lama Jakarta, akhir tahun 1994, ditanya oleh seorang warga masyarakat setempat. Katanya, “Siapakah yang meriwayatkan Hadis Carilah ilmu meskipun di negeri Cina, dan mengapa Nabi Saw menyebutkan Cina, bukan Eropa saja?”. Pertanyaan ini sangat bagus, karena yang ditanyakan adalah periwayatnya, dan ini merupakan aspek sanad (silsilah keguruan Hadis), juga substansinya (mengapa menyebut Cina), dan ini menyangkut aspek matan (materi Hadis). Pertanyaan ini juga sekaligus membuktikan bahwa Hadis tersebut sudah memasyarakat.
Hadis Populer
Teks Hadis tersebut adalah sebagai berikut:
اُطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ، فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Carilah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Hadis ini oleh para ulama Hadis dikategorikan sebagai Hadis masyhur yang non-terminologis, yaitu Hadis yang sudah populer di masyarakat meskipun – terkadang – hal itu belum berarti bahwa ia benar-benar Hadis yang berasal dari Nabi Saw. Sebab yang menjadi kriteria di sini adalah ia disebut Hadis oleh masyarakat umum, dan ia masyhur atau populer di kalangan mereka.
Sebagai bukti bahwa Hadis tersebut di atas itu termasuk Hadis masyhur non-terminologis (ghair ishtilahi) adalah ia dicantumkan dalam kitab-kitab yang khusus memuat Hadis-hadis masyhur. Misalnya kitab al-Maqashid al-Hasanah karya al-Sakhawi (w. 902 H)(1), aI Durar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah karya al-Suyuti (w 911 H)()2, al-Ghammaz `ala al-Lammaz karya aI-Samhudi (w. 91 1 H)(3), Tamyiz al-Tayyib min al-Khabits karya Ibn al-Daiba’ (w. 944 H)(4), Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas karya al-Ajluni (1162 H)(5), Asna al-Matalib karya al-Hut(6), dan lain-lain.
Berbeda dengan Hadis masyhur yang terminologis (ishtilahi), yang ini adalah Hadis di mana jumlah rawi dalam setiap jenjang periwayatannya berkisar antara tiga sampai sembilan orang(7).
Rawi dan Sanad Hadis
Hadis Carilah ilmu meskipun di negeri Cina di atas tadi diriwayatkan oleh rawi-rawi antara lain, Ibn Adiy (w. 356 H) dalam kitabnya aI-Kamil fi Dhu’afa Rijal, Abu Nu’aim (w. 430 H) dalam kitabnya Akhbar Ashbihan, al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya Tarikh Baghdad dan al-Rihlah fi Thalab al-Hadits, Ibn Abd al-Barr (w. 463 H) dalam kitabnya Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih, Ibn Hibban (w. 254 H) dalam kitabnya Majruhin, dan lain-lain(8).
Sementara sanadnya adalah, mereka semua menerima Hadis itu dari: aI-Hasan bin ‘Atiyah, dari Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman, dari Anas bin Malik, (dari Nabi Saw)(9).
Kualitas Hadis
Imam Ibn Hibban mengatakan, Hadis ini bathil la ashla lahu (batil, palsu, tidak ada dasarnya). Pernyataan Ibn Hibban ini diulang kembali oleh al-Sakhawi dalam kitabnya al-Maqhasid al-Hasanah. Sumber kepalsuan Hadis ini adalah rawi yang bemama Abu Atikah Tarif bin Sulaiman (dalam sumber Iain tertulis: Salman). Menurut para ulama Hadis seperti al-`Uqaili, al-Bukhari, al-Nasa’i, dan Abu Hatim, mereka sepakat bahwa Abu Atikah Tarif bin Sulaiman tidak memiliki kredibilitas sebagai rawi Hadis. Bahkan menurut al-Sulaimani, Abu Atikah dikenal sebagai pemalsu Hadis. Imam Ahmad bin Hanbal juga menentang keras Hadis tersebut(10). Artinya, beliau tidak mengakui bahwa ungkapan Carilah ilmu meskipun di negeri Cina itu sebagai Hadis Nabi.
Riwayat-riwayat Lain
Hadis tersebut juga ditulis kembali oleh lbn al-jauzi dalam kitabnya al-Maudhu’at (Hadis-hadis palsu). Kemudian al-Suyuti dalam kitabya al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah — sebuah kitab ringkasan dari kitab lbn al-jauzi ditambah komentar dan tambahan – mengatakan bahwa di samping sanad di atas, Hadis tersebut memiliki tiga sanad lain. Masing-masing adalah sebagai berikut.
1. Ahmad bin ‘Abdullah — Maslamah bin al-Qasim — Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-‘Asqalani – `Ubaidullah bin Muhammad al-Firyabi – Sufyan bin `Uyainah – al-Zuhri –Anas bin Malik – (Nabi Saw). Hadis dengan sanad seperti ini diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dan al-Baihaqi dalam kitab Syu’abal Iman.
2. Ibn Karram – Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari – al-Fadhl bin Musa – Muhammad bin ‘Amr – Abu Salamah – Abu Hurairah — (Nabi Saw). Hadis dengan sanad seperti ini diriwayatkan oleh Ibn Karram, seperti disebut dalam kitab al-Mizan (Mizan I’tidal fi Naqd al-Rijal) karya al-Dzahabi.
3. Dalam kitabnya al-Lisan (Lisan al-Mizan), Ibn Hajar al-Asqalani meriwayatkan Hadis itu dengan riwayat sendiri yang berasal dari Ibrahim al-Nakha’i — Anas bin Malik. Ibrahim berkata, “Saya mendengar Hadis itu dari Anas bin Malik”.
Sementara kualitas tiga sanad ini adalah sebagai berikut:
Dalam sanad pertama terdapat nama Ya’qub bin Ibrahim al-Asqalani. Menurut Imam al-Dzahabi, Ya’qub bin Ibrahim al-Asqalani adalah kadzdzab (pendusta). Dalam sanad kedua terdapat nama Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari, dia adalah seorang pemalsu Hadis. Sementara dalam sanad ketiga, Ibrahim al-Nakha’i tidak pernah mendengar apa-apa dari Anas bin Malik. Demikian kata Ibn Hajar al-Asqalani(11). Oleh karenanya, ia juga tidak lebih dari seorang pembohong.
Tidak Mengubah Kedudukan
Tiga sanad yang disebutkan al-Suyuti di atas ternyata tidak mengubah kedudukan Hadis yang kita kaji ini. Artinya Hadis tersebut tetap berstatus maudhu’ atau palsu, karena sanad yang disebutkan al-Suyuti tadi semuanya lemah. Karenanya, Ahli Hadis masa kini, Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani mengatakan bahwa catatan al-Suyuti itu laisa bi syai’in (tidak ada artinya)(12), karena tidak mengubah status Hadis tersebut, bahkan justru memperkuat kepalsuannya.
Biasanya, sebuah Hadis yang dha’if (lemah), apabila ia diriwayatkan dengan sanad lain yang juga lemah, maka ia dapat meningkat statusnya menjadi Hadis hasan li ghairih. Tetapi dengan catatan, kelemahannya itu bukan karena rawinya seorang yang fasiq (berbuat maksiat) atau ia seorang pendusta(13). Sementara Hadis “Belajar di negeri Cina” ini lain. Ia tidak dapat meningkat kualitasnya menjadi hasan li ghairih, karena kelemahannya adalah rawi-rawinya adalah orang-orang pendusta, bahkan pemalsu Hadis.
Sementara itu, ahli Hadis masa kini, Prof. Dr. Nur al-Din ‘Itr ber pendapat bahwa meskipun Hadis “Mencari ilmu di negeri Cina” itu tidak dapat meningkat kualitasnya dari dha’if menjadi hasan li ghairih, namun beliau juga tidak memastikan bahwa Hadis tersebut palsu. Beliau hanya menetapkan bahwa Hadis tersebut sangat lemah (dha’if syadid)(14). Sayang, Nur al-Din ‘Itr tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan dha’if syadid (lemah sekali) itu. Sebab Hadis palsu adalah Hadis yang paling lemah.
Dalam disiplin ilmu Hadis, Hadis yang sangat parah kelemahannya, seperti Hadis Maudhu, Hadis matruk dan Hadis munkar tidak dapat dijadikan sebagai dalil apa pun, hatta untuk dalil amal-amal kebajikan (fadhail al-a’mal , sebab salah satu syarat dapat digunakannya Hadis-hadis dha’if untuk dalil-dalil fadhail al-a’mal adalah kedha’ifan Hadis-hadis tersebut tidak parah. Sedangkang Hadis “Mencari ilmu di negeri Cina” itu sangat parah kedhai’fannya. Oleh karena itu, meskipun Prof. Dr. Nur al-Din `Itr berbeda pendapat dengan Syeikh Nashir al-Din al-Albani dan Ibn al-Jauzi dalam menilai Hadis tersebut, namun dalam prakteknya mereka sepakat bahwa Hadis tersebut tidak dapat digunakan untuk dalil apa pun, baik untuk aqidah, syariah maupun akhlaq dan fadhail aI a’mal
Rawi Kontroversial
Sementara itu, Imam Ibn Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa Ya’qub bin Ishaq al-Asqalani yang dinilai sebagai kadzdzab (pendusta) oleh Imam al-Dzahabi, ternyata disebut-sebut oleh Maslamah bin al-Qasim dalam kitabnya al-Shilah. Maslamah menuturkan bahwa ada beberapa guru Hadis menyebut-nyebut Ya’qub bin Ishaq al-Asqalani kepadanya. Maslamah juga berkata, “Saya menulis Hadis dari Ya’qub bin Ishaq dan saya lihat para guru Hadis menulis Hadis dari padanya. Ya’qub juga diperselisihkan di antara para ahli Hadis, ada yang menilainya majruh (inkredibel), dan ada yang menilainya tsiqah (kredibel). Bagi saya,” begitu Maslamah melanjutkan, “Ya’qub bin Ishaq adalah shalih wa ja’iz al Hadts (baik Hadisnya)(15)”
Bila demikian halnya, maka rawi yang bernama Ya’qub bin Ishaq al-Asqalani itu termasuk rawi yang kontroversial. Selanjutnya apakah hal itu dapat mengubah status Hadis tersebut menjadi Hadis yang shahih? Jawabannya adalah tetap tidak dapat. Mengapa? Karena dalam ilmu al-Jarh wa Ta’dil (evaluasi negatif dan positif atas rawi-rawi Hadis), terdapat kaidah bahwa apabila seorang rawi dinilai negatif (jarh) dan positif (ta’dil oleh para ulama kritikus Hadis, maka yang diunggulkan adalah pendapat yang menilai negatif apabila penilaian itu dijelaskan sebab-sebabnya(16). Dalam kasus Ya’qub bin Ishaq ini, al-Dzahabi telah memberikan penilaian negatif (jarh) dengan menjelaskannya sebagai seorang kadzdzab (pendusta)(17). Karenanya, penilaian ini harus dikedepankan, sehingga Ya’qub bin Ishaq tetap sebagai rawi yang majruh (inkredibel).
Selanjutnya, setelah diketahui bahwa Hadis di atas itu palsu, maka kini tidak perlu lagi menjawab pertanyaan “kenapa Nabi saw menyebutkan Cina, bukan Eropa”. Sebab ungkapan itu tidak ada sangkut pautnya dengan Nabi Muhammad Saw, meskipun kalangan masyarakat awam menganggapnya sebagai Hadis.
Ungkapan itu boleh jadi mulanya adalah semacam kata-kata mutiara, karena konon Negeri Cina pada masa lalu sudah dikenal memiliki budaya yang tinggi. Kemudian lambat-laun unkapan itu disebut-sebut sebagai Hadis. Dan perlu diingat bahwa Hadis yang palsu sebagaimana dimaksud dalam jawaban ini adalah ungkapan sebagaimana termaktub dalam awal uraian ini yang terdiri dari dua kalimat, yaitu “Carilah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Sementara itu, kalimat yang kedua yaitu “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”, merupakan Hadis shahih yang antara lain diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Imam, Imam al-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Shagir, dan al-Mu jam al-Ausath, al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad dan lain-lain(18).
Wallahu a’lam.
*KH Ali Mustofa Ya’kub