Nadzom ini dikarang oleh al-Imam al-‘Allamah Ahmad bin Muhammad al-‘Adwi al-Maliki al-Azhari yang lebih dikenal dengan Syeikh Ahmad Dardir. Beliau lahir pada tahun 1127 H, dan wafat pada 1201 H. Pokok pembahasannya berisikan tentang tauhid, yang bermanhajkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Beberapa pesantren di Indonesia menggunakan kitab ini sebagai kurikulum dasar ilmu tauhid. Di samping pembahasannya yang tidak terlalu melebar, bahasanya pun mudah dipahami oleh pelajar.
Banyak dari para ulama yang memberi syarh atas kitab ini, di antaranya adalah Al-Haqoiqul Jaliyyah fii Syarh Nadzm Kharidah Al-Bahiyyah karya Syaikhoh Syifa binti Khitou, anak perempuan dari ulama terkemuka di zaman ini, Syeikh Hasan Hitou.
Untuk mengimplementasikan toleransi dalam kehidupan sosial, yang terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat, ras maupun etnis serta perbedaan agama, mari kita meninjau dan mengambil hikmah dari sifat iradah (kehendak) Allah Swt yang disarikan dalam kitab ini.
Dalam kitab Al-Haqoiqul Jaliyyah, Syaikhoh Syifa menjelaskan sifat iradah yang terdapat dalam bait beikut:
وإن يــكـن بضده قـد أمرا # فالقصد غير الأمر فاطرح المرا
Mari kita fahami bait tersebut dengan sebuah perumpamaan, seandainya seorang ayah menempatkan anaknya di kamar dengan mainan dan kitab, kemudian sang ayah memerintahkannya untuk membaca dan melarangnya untuk bermain. Jika si anak bermain, maka akan mendapat hukuman dari sang ayah.
Walhasil, si anak malah bermain, dan si ayah sebenarnya bisa saja melarangnya, namun ia ingin menguji anaknya dengan pilihan (antara bermain atau belajar). Maka bermainnya si anak itu sesuai dengan kehendak si ayah, namun menyalahi perintahnya. Karena kesalahan inilah si anak berhak mendapatkan hukuman.
Begitu juga manusia, ketika mereka bermaksiat kepada Allah Swt, sesungguhnya mereka menyalahi perintah-Nya, tidak kehendak-Nya. Allah sebenarnya bisa saja mencegahnya untuk bermaksiat, namun manusia begitu lemah untuk membenarkan pilihan selama Allah memang tidak menciptakan kemampuan bagi mereka untuk menahannya.
Tamsil di atas menyadarkan kita, bahwa segala sesuatu di muka bumi ini terjadi atas kehendak Allah Swt serta kuasa-Nya, baik ketaatan maupun kemaksiatan. Meskipun perkaranya menyalahi perintahnya, namun tidak akan pernah menyalahi kehendak-Nya, jika Allah sudah berkehendak, ya sudah. Sekuat apapun usahamu, tak akan mampu menghalau takdir-Nya, namun bukan berarti kita tidak berusaha sama sekali.
Lanjutan bait diatas adalah:
فـقـد عــلمت أربـعا أقـســاما # فـي الكائـنات فاحـفـظ المـقـامـا
Bait ini menjelaskan bahwa ada empat macam perkara yang harus kita jaga dan ketahui mengenai hubungan antara perintah dan kehendak Allah Swt. Pertama, Allah memerintahkan dan berkehendak, contohnya keimanan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu yang memang diperintahkan oleh Allah Swt dan Ia juga berkehendak.
Kedua, memerintahkan namun tidak berkehendak. Contohnya Allah memerintahkan Abu Lahab untuk beriman, namun Ia tidak berkehendak.
Ketiga, tidak memerintahkan namun berkehendak. Seperti tidak adanya perintah Allah kepada Abu Lahab untuk kufur, namun Allah memang berkehendak.
Keempat, tidak memerintahkan dan tidak juga berkehendak. Seperti tidak adanya perintah kepada orang mukmin untuk meninggal dalam kekafiran, dan tidak ada pula kehendak Ia mengenai itu.
Hikmah dari kedua bait di atas yang dapat direalisasikan dalam kehidupan sosial kita, mestinya kita sebagai orang Islam harus memahami, ketika melihat saudara yang tidak seiman dengan kita, jangan sampai menimbulkan kebencian terhadapnya di dalam hati.
Apalagi sampai menggunakan doktrin-doktrin agama yang disalah pahami untuk menebar kebencian kepada mereka. Meskipun dalam hati kita tetap harus ada rasa ketidaksetujuan atas pemahaman mereka. Tetapi jangan sampai ditampakkan hingga memunculkan perseteruan antara kita dengan mereka.
Bukankah semuanya terjadi atas kehendaknya, meskipun itu menyalahi perintahnya. Gunakan cara sehat dalam berdakwah, yaitu dengan berdialog, menasehati serta mendoakannya.
Wallahu a’lam