“Kalimatu haqqin, urida bihi al-baathil” (Ucapan itu benar, tetapi tujuannya sesat)
~ Ali ibn Abi Thalib RA
Reuni Akbar Alumni 212 baru saja berlalu. Banyak perdebatan panas yang terjadi. Kapolri Tito Karnavian menyindir bahwa kegiatan itu sarat nuansa politik. Ketua MUI, K.H. Ma’ruf Amin juga sebelumnya menyarankan agar kegiatan tersebut tak perlu diadakan karena tujuannya sudah tercapai. Sementara Fadli Zon menyebut Reuni 212 bukanlah kegiatan politis. Namun, ajaibnya, Ahmad Dhani, tanpa tedeng aling-aling menyatakan Reuni 212 adalah aksi politis yang membelah umat. Menurutnya, yang datang ke reuni adalah umat Islam yang tak bisa didikte. Sementara yang tak datang bisa didikte (Tempo.co, 3/12/2017).
Reuni Akbar Alumni 212, menurut hemat penulis, layak disebut sebagai representasi “Islam 212”. Ini setelah banyaknya pihak yang agak bingung dengan sebutan apa yang layak untuk disematkan. Faktor kebingungan ini tidak lain karena rangkaian demo yang memilih tanggal-tanggal tertentu sebagai momentumnya. Angka 212 kiranya paling representatif sebagai atribut keislaman mereka yang sepaham dengan gagasan yang diusungnya. Persis seperti sebutan “Islam Nusantara” yang didengungkan kalangan NU, dan “Islam Berkemajuan” yang disuarakan kalangan Muhammadiyah.
Sebelum menilai apakah Reuni Akbar Alumni 212 politis atau tidak, ada baiknya bila kita menoleh sebentar ke masa lalu sejarah Islam terutama masa pasca-nabi Muhammad SAW.
Kenapa masa pasca-nabi, sebab di masa nabi sendiri jelas terpisah antara kaum muslim dan kafir, sedangkan masa pasca-nabi, terjadi konflik internal di kalangan muslim sendiri.Kalangan Islam 212 merasa bahwa dirinya merupakan representasi Islam, sementara kalangan yang tak sepakat dengan anggapan tersebut menganggap bahwa keislaman tak mesti tunggal.
Klaim gegabah bahwa yang tak sepakat pada Islam 212 merupakan pendukung Jokowi dan Ahok jelas merupakan asumsi sempit dan kekanak-kanakan.Tak sepakat pada Islam 212 tidak mesti otomatis menjadi pendukung Jokowi dan Ahok.
Konflik Internal dalam Masa Islam Awal
Ucapan dari Khalifah Ali yang penulis cantumkan di atas terlontar saat klimaks perang Shiffin.Perang Shiffin adalah rangkaian dari Fitnah kedua yang dialami umat Islam setelah fitnah pertama di mana Khalifah Utsman terbunuh dalam kerusuhan sosial.Perang Shiffin terjadi setelah perang Jamal (Unta). Perang Jamal adalah peperangan antara Ali ibn Abi Thalib versus triumvirat yang terdiri dari ‘Aisyah binti Abu Bakar, Zubair ibn ‘Awwam, dan Thalhah ibn Ubaidillah.Sedangkan Perang Shiffin adalah perang antara Ali dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan.
Baik Perang Jamal maupun Perang Shiffin yang berhadap-hadapan sama-sama muslim. Kesemua konflik berdarah ini terjadi sekali lagi antara muslim versus muslim. Yang lebih miris lagi konflik antara sahabat dengan sahabat.
Kondisi pertempuran dalam perang Shiffin sejatinya sudah didominasi pihak Ali, sementara pasukan Muawiyah yang dipimpin ‘Amr ibn al-Ash sudah merasa terdesak.Klimaks perang Shiffin ini ditandai dengan pasukan perang Gubernur Muawiyah ibn Abi Sufyan yang mengacungkan mushaf (lembaran) al-Quran di atas tombak. Sembari mengacungkan mushaf al-Quran di atas tombak, pasukan Muawiyah berseru-seru agar kedua belah pihak berdamai dengan merujuk pada kitabullah tersebut.
Kelompok Muawiyah menyerukan tahkim atau arbitrase. Pengalaman dalam beragam diplomasi dan perang mendorong Sayyidina Ali mengucapkan kalimat ironis pembuka kalam di atas.
Ucapan ini tercatat jelas dalam kitab Nahj al-Balaghah.Menurutnya, pihak lawan tidak menginginkan perdamaian, melainkan menjalankan taktik belaka dengan bersembunyi di balik mushaf al-Quran.Dalam bahasa kiwari, pihak Muawiyah melakukan politisasi agama.Agama dipakai, dimanfaatkan, dan ditunggangi untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Membenarkan intuisi Ali, sejarah mencatat peristiwa Tahkim bukan berakhir pada perdamaian.Pasalnya, pihak Ali dicurangi dalam diplomasi. Tak pelak peristiwa Tahkim ini membawa pada perpecahan umat Islam menjadi tiga: kelompok yang mendukung Muawiyah, kelompok penyokong Ali dan kelompok yang mengkafirkan Muawiyah dan Ali sekaligus. Secara berturut-turut yang pertama dikenal dengan Jamaah, yang kedua Syi’ah Ali dan terakhir kelompok Khawarij.
Fakta-fakta historis pertikaian muslim versus muslim ini direkam dengan seksama dalam kitab Tarikh al-Tabari karya Ibn Jarir al-Tabari, selainAnsab al-Asyraf karya al-Baladzuri. Perang muslim dengan muslim ini sekitar seabad lebih setelahnya bertukar warna dalam bentuk konflik tajam antara penguasa dan ulama. Masa-masa Daulah Abbasiyah, yang sering kali dianggap sebagai masa keemasan dalam sejarah Islam karena menjadi sentra pengetahuan dunia, memiliki fase gelap di mana Khalifah al-Ma’mun mengadakan pengadilan aqidah tentang posisi al-Quran sebagai qadim atau hadits.
Fase ini dikenal dengan sebutan Mihnah. Tercatat dalam sejarah, salah satu korban dari kebijakan ini adalah Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab Hanbali.
Sejarah Islam pasca-Nabi Muhammad yang diwarnai dengan perang sesama muslim, dan penindasan penguasa muslim terhadap ulama membawa pada semacam antipati terhadap kekuasaan dalam tradisi pemikiran Islam. Pada taraf tertentu, pandangan politik para teoritisi Islam abad pertengahan ini membawa semacam kesadaran tentang kekuasaan yang cenderung menyimpang. Ditinjau dari perspektif modern, hal ini dekat dengan adagium terkenal dari Lord Acton, “Kekuasaan cenderung menyimpang, dan kekuasaan mutlak cenderung menyimpang secara mutlak.”
Penulis mengangkat konflik internal di kalangan muslim awal ini sebagai refleksi bahwa: pertama,pembelahan umat seperti yang disinggung Ahmad Dhani bukan hal baru. Pembelahan umat telah terjadi sedini masa Khulafa al-Rasyidun. Pembelahan umat ini bermuara pada perihal kekuasaan. Karena itu, akan menjadi hal anakronistis bila umat dipecah-belah demi syahwat kekuasaan.
Kedua, politisasi agama bukanlah hal baru dalam Islam. Usianya hampir setua Islam sendiri.Justru karena itu, para teoritisi politik Islam di masa lalu berusaha agar agama tidak jatuh dalam pembenaran mutlak atas kekuasaan tetapi juga tidak mengesahkan agama sebagai alat meraih kekuasaan.
Arkian, gerakan Islam 212 merupakan gerakan politis yang mendaku tidak politis. Ketidaksepakatan antara ucapan Fadli Zon dan Ahmad Dhani adalah gambaran dari pemahaman politis itu sendiri.