Dunia Islam saat ini sedang dilanda situasi yang begitu menegangkan, bukan hanya persoalan perubahan dinamika yang begitu cepat akibat Globalisasi. Tetapi juga merosotnya nilai-nilai agama yang disebabkan oleh cara berfikir yang matrealistis, individualistis dan klaim kebenaran tunggal.
Maka tidak heran jika etnisisme, primoldialisme dan radikalisme, saat ini melanda sebagian besar dunia islam. Bahkan menjadi penyakit akut yang membelenggu umat Islam dan melemparkannya jauh dari substansi dan nilai-nilai Islam yang sebenarnya.
Cara berfikir yang demikian, melahirkan kekeliruan dalam memahami dan menafasirkan nilai-nilai Islam. Salah satunya dalam memahami Islam dan cinta tanah air. Dalam delapan puluh tahun terakhir ini, ada beberapa aliran dan kelompok Islam yang keliru.
Mereka berusaha membentuk serta memaparkan persepsi tentang sejumlah permasalahan yang besar, tetapi mereka tidak mempunyai kapasitas dalam melakukan hal tersebut. Dan apa yang mereka lakukan adalah dampak dari hasrat yang begitu tinggi untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, namun tidak dibarengi dengan bekal metodologi yang mumpuni.
Salah satu kekeliruan persepsi yang dibentuk dan dipaparkan oleh beberapa kelompok Islam radikal adalah tentang tanah air. Menurut mereka, tanah air adalah gugusan tanah-tanah yang tidak bernilai. Mereka menganggap tanah air sebagai batasan-batasan geografis (territorial) buatan kaum imperialis, yang mereka anggap sebagai tandingan terhadap kekuasaan khilafah, sehingga menurut mereka tidak perlu untuk mencintainya. Dalam pandangan mereka, bahwasanya di dalam syariat Islampun, tidak ada satu ayat dan hadis yang menjelaskan untuk mencintai tanah air.
Salah satu tokoh pelopor kelompok-kelompok yang mempunyai pemahaman keliru terhadap tanah air adalah Sayyid Qutb. Di dalam kitab tafsirnya Fi Dzilalil Al-Qur’an juz 4, halaman 1413; Sayyid Qutb mengatakan:
“Orang-orang yang mencari justifikasi jihad Islam sebagai perlindungan terhadap ‘Negara islam’ itu merendahkan manhaj Islam dan menganggapnya lebih rendah nilainya daripada ‘tanah air’. Islam tidak memiliki pandangan demikian. Pendapat itu adalah pendapat yang mengada-ngada dan ganjil. Karena aqidah dan manhaj Islam beserta masyarakat yang memeluknya itu sajalah yang ada dalam perasaan Islami. Sedangkan, tanah air sendiri tidak ada nilainya dan bodoh.’’
Pernyataan ini menunjukan kekeliruan dalam memaknai tanah air dan menjadi cikal bakal pemikiran radikalisme yang anti terhadap tanah air.
Maka tidak heran jika kelompok-kelompok Islam radikal transnasional yang ada di berbagai belahan dunia, ingin mengubah tatanan negara yang sudah lama berdiri untuk kembali kepada sistem khilafah yang sudah runtuh berabad-abad lamanya. Apa yang mereka lakukan itu adalah bentuk dari gagal move on dan kesalahan dalam mendefinisikan tentang tanah air sebagaimana yang ada di atas. Menurut mereka kebangsaan itu tidak penting, yang penting adalah Islam.
Apa yang dipahami oleh kelompok islam radikal tentang tanah air dan konsep mencintainya sangat bertolak belakang dengan nalar kelompok Islam moderat yang diwakili oleh para ulama-ulama Al-Azhar dan ulama-ulama Nahdlatul Ulama yang ada di Indonesia. Bahkan juga bertentangan dengan para ulama besar Islam seperti Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, Fakhruddin Ar-Razi, dan para ulama lainnya di berbagai bidang keilmuan.
Pemahaman kalangan Islam radikal tentang tanah air yang begitu absurd dan pendefinisian yang tidak utuh, membuat perspektif yang keliru dan menjadikannya sangat fatal.
Pemahaman yang mereka buat ini, menghancurkan nilai sebuah Negara beserta sejarah, prestasi, dan peranannya. Dan ini sangat berbeda sekali dengan pemahaman kelompok Islam moderat.
Anggapan kelompok radikal yang tidak perlu mencintai tanah air ini sangat berbahaya. Karena akan merusak stabilitas sebuah wilayah atau negara, serta akan menimbulkan konflik dan kekerasan. Mereka yang tidak mempunyai rasa cinta tanah air, akan melakukan hal-hal yang sangat absurd, seperti terorisme dan lain sebagainya, karena mereka tidak menghargai sejarah, peradaban dan lain sebagainya. Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal adalah sebuah interpretasi yang salah terhadap nilai-nilai Islam yang Rahmatan Lil Alamin.
Kasus bom dan penembakan di Masjid Raudhoh Mesir saat sholat jum’at adalah salah satu contoh terbaru yang dilakukan oleh kelompok radikal yang tidak mempunyai rasa cinta terhadap tanah airnya. Hal ini sangat bertentangan dengan pemikiran kelompok Islam moderat yang memandang tanah air dan cinta tanah air adalah sesuatu yang sangat berharga dan harus ditanamkan terhadap setiap warga negara. Karena dari situlah, rasa aman dan nyaman akan muncul ketika para penduduk sebuah menghormati budaya dan peradaban yang sudah ada pada sebuah wilayah atau Negara.
Pada dasarnya, konsep cinta tanah air sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, yaitu melalui kecintaan Nabi Muhammad Saw terhadap kota Makkah dan selalu merindukannya, padahal beliau tinggal di Madinah. Juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Ibnu Hibban, dan Imam Tirmidzi dari Anas Ra. yang menerangkan bahwa jika Rasulullah ketika datang dari bepergian dan melihat dinding-dinding kota madinah, beliau mempercepat laju untanya, karena kecintaannya pada madinah .
Ulama-ulama besar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di masa lampau mempunyai pandangan tersendiri tentang tanah air. Salah satunya adalah Imam Fakhruddin ar-Razi yang mempunyai pandangan bagus tentang tanah air, yang beliau tuangkan didalam tafsirnya, ketika menafsiri ayat;
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا
Ar-Razy mengatakan bahwasanya cinta tanah air adalah dorongan fitrah yang sangat kuat dalam jiwa manusia. Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman setingkat dengan bunuh diri. Meninggalkan tanah air adalah perkara yang sangat sulit bagi orang orang yang berakal, sama halnya bunuh diri. Imam Mulla Ali al-Qori dalam Mirqot al-Mafatih mengatkan bahwa meninggalkan tanah air adalah ujian yang sangat berat.
Imam Al-Qarafi, salah seorang ulama ahli fiqh dalam kitabnya Al-Dzakiroh mengatakan bahwasanya salah satu hikmah dalam perjalanan haji adalah mendidik diri dengan meninggalkan tanah air agar menjadi jiwa yang lebih baik ketika nanti kembali ke tanah air. Dan jika masih mempunyai rasa berat untuk meninggalkan tanah air, maka orang itu masih mempunyai rasa cinta terhadap tanah airnya.
Ulama-ulama Indonesia memaknai tanah air seperti sebuah rumah yang kita tinggali. Maka, mencintainya adalah sebuah kewajiban. Menjaganya dari segala unsur yang ingin merusaknya adalah fardhu ain. Karena di rumah itulah tersimpan berbagai sejarah, prestasi, perjuangan dan peradaban. Jadi apa yang dilakukan kelompok-kelompok radikal, untuk merubah tatanan rumah yang begitu rapi dan dianggap tidak sama dengan yang mereka pahami, akan mendapatkan perlawanan dari penghuni rumah tersebut.
Tidak heran jika K.H. Hasyim Asy’ari, membuat Jargon Hubbul Wathon Minal Iman. dan KH Wahab Hasbullah membuat syair tentang tanah air (Ya Lal Wathon), tidak lain adalah untuk menanamkan rasa Nasionalisme, dan membentengi dari paham radikal yang tidak mempunyai rasa cinta terhadap tanah airnya, sebab keliru memaknai tanah air.
Bahkan al-Dinawari juga meriwayatkan kaul dari jalur al-Ashma’i, mengatakan dalam kitab Al-Mujalasah, “Aku mendengar seorang badui berkata; jika kamu ingin mengetahui jati diri seseorang, maka lihatlah kadar kecintaannya kepada tanah airnya, kerinduannya kepada sahabat-sahabatnya, dan tangisannya atas masa lalunya”.
Wallahu A’lam