Dalam narasi sejarah peradaban manusia, wajah agama sering kali menampakkan roman yang tidak ramah. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak konflik terjadi karena gesekan dan benturan antar agama. Tidak terhitung pula korban manusia yang jadi tumbal atasnya. Jika sudah begini, muncul pertanyaan benarkah agama menganjurkan kebaikan untuk manusia? Terkhusus dalam agama Islam, Nabi Muhammad saw. mendakwahkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Islam hadir dalam kehidupan pembawa kedamaian dan kasih sayang bagi manusia dan alam. Namun, jika umat Islam tampil dengan mengangkat pedang, menyimpan bom di dalam tas, atau mencurigai bahkan sampai mengusir tetangganya, benarkah ada kedamaian dan kasih sayang di dalamnya? Jika kenyataan demikian maka yang ada hanyalah kekacauan dan hal tersebut sangat membahayakan keberlangsungan peradaban manusia.
Dalam konteks Indonesia, tercatat sudah banyak sekali kasus-kasus konflik, baik antar agama maupun internal agama. Masyarakat yang terlibat di dalam konflik tersebut belum sepenuhnya memahami bagaimana membangun sebuah relasi nir-kekerasan. Yang paling mutakhir adalah mulai berkembangnya kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia. Kelompok Islam garis keras tersebut tak segan-segan untuk berbuat kekerasan kepada orang-orang yang berbeda pemahaman denganya.
Tidak hanya sampai di situ, kelompok-kelompok militan Islam garis keras yang ada di Indonesia mencoba untuk merubah Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45 menjadi negara Islam atau khilafah. Jika sudah seperti ini, citra Islam sebagai agama penebar rahmat akan terancam. Untuk membendung militansi kelompok-kelompok tersebut perlu kiranya membuat sebuah rumusan keberagamaan tandingan.
Dalam hal ini menarik kiranya untuk memperhatikan penjelasan Ulil Abshar Abdalla tentang pengelompokan suatu agama. Menurutnya, ada dua jenis agama. Tepatnya, ada dua jenis model beragama. Ada agama yang berorientasi hukum; tentu saja yang dimaksud di sini adalah hukum agama yang dalam kasus Islam disebut dengan fiqh. Ada agama yang berorientasi cinta dan kasih sayang.
Model beragama yang pertama biasanya cenderung kaku, hitam putih. Model ini juga cenderung melihat sesuatu dalam kerangka halal-haram, meskipun hukum agama dalam Islam tidak hanya dua itu, melainkan ada lima. Ada wilayah yang disebut mubah (sesuatu yang netral atau diperbolehkan), wilayah di mana manusia diberikan kebebasan oleh Tuhan untuk melakukan putar-balik yang leluasa asalkan tidak menerobos batasan-batasan yang telah ditentukan.
Model beragama yang berorientasi hukum ini juga biasanya cenderung menekankan dimensi “azab” Tuhan ketimbang rahmat-Nya. Tuhan digambarkan sebagai Tuhan yang “Muntaqim” (Maha Pendendam), Syadid al-‘Iqab (Maha keras siksa-Nya). Prof. Daoed Joesoef pernah menyebut model keberagamaan seperti ini sebagai agama ketakutan (religion of fear). Sementara itu, agama cinta memberikan fokus pada dimensi lain dalam agama, yakni cinta dan kasih sayang.
Penekanannya pada dimensi jamal atau keindahan, bukan dimensi jalal atau keagungan-Nya. Keberagamaan yang berorientasi cinta lebih menekankan sifat-sifat ketuhanan yang lembut, seperti al-Rahman dan al-Rahim (Mahakasih Sayang), al-Ghafur (Maha Pengampun), al-Shabur (Maha Penyabar), al-Syakur (Maha Bersyukur), al-Tawwab (Maha Penerima hamba-Nya yang telah menyesal atas segala kesalahanya), dan seterusnya.
Agama yang berorientasi pada cinta biasanya lebih membentuk sikap-sikap sosial yang lembut dan terbuka. Sikap-sikap yang ditonjolkan dalam keberagamaan seperti ini ialah clemency (ke-legowo-an) dan magnanimity yang dalam bahasa Arab disebut al-Halim, yakni kemampuan untuk mengampuni kesalahan-kesalahan kecil pihak lain, serta tidak memperbesar hal-hal remeh-temeh yang bisa menimbulkan komplikasi dalam suatu pertengkaran.
Di dalam Islam, Tuhan juga disebut sebagai al-Halim, Tuhan yang Maha Mengampuni kekeliruan-kekeliruan kecil hamba-Nya. Selain itu, betapa banyak al-Quran menyebut kata cinta, hubb dan derivasinya 83 kali, sedangkan lawan katanya, benci, bugd-bagda’ sebanyak 5 kali. Kata yang berdekatan dengan bugd ialah sukht, disebut 4 kali; lawan katanya ridha, terulang 73 kali. Hubb dan mahabbah seakar dengan habb, yang artinya biji atau inti. Hubb disebut habbat al-qalb, biji atau inti hati karena keserupaan aktivitasnya.
Melihat keterangan di atas kiranya sudah saatnya umat muslim, khususnya kelompok-kelompok Islam garis keras untuk kembali merenungi keberislamanya. Karena Islam yang autentik adalah Islam yang cinta terhadap perbedaan, Islam cinta terhadap kemanusiaan, Islam yang cinta terhadap tanah air, dan Islam yang selalu mampu menjawab pelbagai fenomena sosial masyarakat dengan berlandaskan cinta dan kasih.