Islam yang dalam hal ini sebuah agama di mana di dalamya terdapat cakupan ajaran yang sangat integral dan komprehensif, membagi pokok ajaranya ke dalam tiga skala besar, yakni Iman, Islam, dan Ihsan. Seiring dengan lajunya perkembangan ilmu pengetahuan di dalam agama Islam sendiri, kemudian dari ketiga skala besar tersebut para ulama mengurainya ke dalam beberapa rumpun keilmuan. Pertama adalah Tauhid dan Ilmu Kalam, kedua Syariat dan Fiqih, ketiga adalah Tasawuf.
Di dalam persektif sunni, ilmu tauhid dan ilmu kalam dimotori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu al-Manshur al-Maturidi, sedang ilmu syariat dan fiqih dimotori oleh imam madzhab empat seperti Imam Abu Hanifah bin Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian ilmu tasawuf sendiri dimotori oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi.
Diakui atau tidak, bagi sebagian kalangan, terutama aliran ahlusunnah wal jamaah, nama Junaid al-Baghdadi seringkali menjadi penisbatan dalam persoalan tasawuf. Karena di samping konsep tasawufnya cenderung moderat, juga karena yang bersangkutan lebih memperhatikan aspek syariat dari aspek mistisme. Inilah yang kemudian menurut Jalaluddin al-Suyuthi dianggap sebagai jalan terbaik yang harus ditempuh oleh kaum shufi, karena ajaran tasawufnya yang steril dari bid’ah, berkisar antara tafwidh, taslim dan melepaskan dari penyucian diri, dan konsisten dengan al-Kitab dan al-Sunnah.
Di samping alasan yang dikemukakan oleh al-Suyuthi tersebut, Syekh Ahmad bin Muhammad al-Watari juga menegaskan perihal keharusan umat Islam yang ingin menempuh laku tasawuf, untuk mengikuti jejak al-Junaid. Alasannya sederhana, karena pola pikir al-Junaid pada dimensi tasawuf dibangun di atas pondasi al-Qur’an dan al-Sunnah, terpelihara dari ideologi yang tercela, fondasinya terjaga dari keserupaan kaum ghulat, serta selamat dari penyimpangan atas syariat.
Berangkat dari argumentasi para ulama yang termaktub di atas, bukan berarti penulis dalam hal ini terjebak ke dalam sikap antipati terhadap para kaum sufi selain Junaid al-Baghdadi. Penulis meyakini, di luar fokus kajian ini, masih banyak para imam kaum sufi yang tidak kalah hebat darinya. Namun setidaknya argumentasi ini diharapkan mampu untuk membuka ruang khazanah tasawuf, dan juga mampu menjawab asumsi sebagian orang-orang, mengapa madzhab Junaid al-Baghdadi banyak diterima oleh mayoritas umat Islam? Serta bagaimana madzhab tasawuf yang ia bangun menjadi sala satu madzhab resmi aliran ahlusunnah wal Jamaah?
Sebagaimana jamak diketahui bahwa Junaid al-Baghdadi merupakan tokoh besar dalam hierarki ilmu tasawuf selain nama besar al-Ghazali. Hal ini tidak bisa lepas dari peran seorang guru yang telah membentuk kepribadiannya dalam memandang serta mengahayati tasawuf. Adalah Sari al-Saqathi, atau Sariyu al-Mughallas al-Saqati mempunyai kunyah Abu al-Hasan, seorang tokoh sufi besar yang juga merupakan paman dari jalur ibu, sekaligus guru Junaid al-Baghdadi.
Langkah pertama yang dilakukan oleh al-Saqati dalam memberikan bimbingan kepada Junaid al-Baghdadi adalah dengan memperkuat ilmu fiqih dan al-Hadits. Setelah itu, ia memperdalam ilmu tasawuf sebagai wahana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan Tazkiyatun Nafsi atau penyucian diri. Ihwal mengenai ketertarikannya kepada ilmu fiqih sebelum terjun ke dunia tasawuf diakui sendiri oleh Junaid al-Baghdadi di dalam al-Tabaqqat al-Syafiiyah al-Kubra karya Tajuddin al-Subki.
Al-Subki merekam pernyataan Junaid al-Baghdadi sebagai berikut: “Aku telah mempelajari fikh menurut aliran dan golongan yang mempunyai otoritas dalam bidang hadits seperti Abu Ubaid dan Abu Tsaur, setelah itu aku mendampingi al-Harits al-Muhasibi dan Siri Ibn Mughallas al-Saqati. Itulah yang menjadi sebab kesuksesanku dalam menghayati ilmu tasawuf”.
Dari paparan Junaid al-Baghdadi di atas, setidaknya kita memahami bahwa Junaid al-Baghdadi di samping seorang tokoh sufi besar, ia juga seorang ahli fiqih yang handal. Di samping itu, ia juga seorang ahli hadits yang mumpuni, inilah yang kemudian diungkap oleh Abu Thalib al-Makki dalam Qutb al-Qulub. Di dalam kitab itu, diulas bagaimana al-Saqati berdoa kepada Allah agar menjadikan Junaid al-Baghdadi sebagai seorang pakar dalam bidang hadis terlebih dahulu sebelum menjadi seorang sufi, dan ia juga berdoa kepada Allah agar jangan menjadikan Junaid al-Baghdadi seorang sufi (sebelum) menjadi seorang pakar hadis.
Rupanya doa Sari al-Saqati di atas dijabarkan lagi oleh al-Makki dengan redaksi sebagai berikut: Sesungguhnya apabila engkau memulai langkahmu dengan mempelajari ilmu hadis dan atsar serta memahami ilmu ushul dan sunah, setelah itu baru engkau mengamalkan zuhud dan melakukan ta’abudiyah, maka engkau kelak akan menjadi tokoh terkemuka dalam ilmu golongan sufi, engkau pun kelak akan menjadi seorang sufi yang arif. Sebaliknya, apabila engkau memulainya terlebih dahulu dengan ta’abbudiyah, serta sibuk dengan urusan tersebut sehingga engkau mengabaikan ilmu dan sunah, maka suatu saat nanti engkau akan muncul menjadi orang yang menyimpang kerena kebodohanmu dalam ilmu ushul dan sunah. Dengan demikian, yang terbaik bagimu saat ini adalah kembali kepada ilmu zahir dan mempelajari hadis, kerena ia merupakan pokok amaliah dan ilmu.
Berdasarkan rincian al-Makki di atas, sedikitnya ada dua poin yang mampu kita petik terkait persoalan yang sedang dibicarakan pada kajian ini. Poin pertama ialah istilah hadis sebagaimana diungkap oleh al-Saqati tidak bermakna ilmu hadis saja, namun ia bermakna ilmu-ilmu zahir secara keseluruhan. Jadi dalam hal ini, yang dimantapkan oleh Junaid al-Baghdadi sebelum masuk pada dimensi tasawuf adalah keseluruhan ilmu Islam yang bersifat zahir, seperti tafsir, hadis, kalam, fiqih, dan sebagainya.
Poin kedua, dalam hierarki tasawuf, ilmu-ilmu zahir merupakan ushul atau pokok/pangkal, sedang ilmu batin termasuk di dalam ilmu tasawuf dan merupakan furu’ (cabang). Karena itu, dalam pandangan mereka, pendekatan yang tepat bagi seorang saalik adalah memulai perjalanannya dari pokok atau pangkal, bukan dari cabang. Karena kesuksesan itu berawal dari pokok, baru merambah ke cabang dan seterusnya. Jika pokoknya baik, maka yang lain akan menjadi baik, sebaliknya jika pokoknya rapuh, maka yang lain menjadi keropos.
Sebagai penutup dari catatan ini, Abu Nuaim al-Isfihani di dalam Hilyatul Auliyah, menegaskan pernyataan Junaid al-Baghdadi bahwa Ilmu kami ini (tasawuf) dibangun di atas pondasi al-Kitab dan al-Sunnah. Barangsiapa yang belum hafal al-Quran, belum menulis hadits dan belum menguasai fiqih, maka ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bertasawuf. Wallaahu A’lam bi al-Shawab!
Penulis adalah,