Setiap orang pada dasarnya ingin menjadi baik serta berbuat baik,tapi seringkali orang itu tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Untuk itu, manusia perlu diajari bagaimana cara berbuat baik. Kita kerap lupa terhadap sekitar, terlalu sibuk mencapai prestasi puncak, kedudukan dan kekayaan semata. Seperti kata Socrates, akhirnya kita hanya akan peduli dengan diri kita sendiri tanpa mempedulikan lingkungan kemanusiaan dan sosial.
Apa yang di ungkapkan oleh Socrates beberapa abad silam adalah tamparan keras bagi kita semua, di mana saat ini banyak sekali terjadi perkara-perkara yang menghilangkan esensi manusia. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas, kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas yang katanya paling agamis, sampai isu terbaru ancaman pembunuhan terhadap anak-anak dari kelompok Ahmadiyah, serta banyak yang lain. Hidup di Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar, namun tidak menerapkan syariah islam sebagai landasan negara sangatlah unik. Keran demokrasi di negeri ini yang dibuka lebar-lebar membuat semua kelompok bebas berekspresi. Mulai dari kelompok ekstrim kiri, ekstrim kanan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu tidak sepatutnya kita bertindak semena mena terhadap kelompok minoritias.
Isu-isu yang berkaitan dengan kemanusiaan memang menjadi tema yang sangat hangat dan menarik untuk kita bicarakan dan dibahas saat ini. Sekat territorial, ras, gender, golongan dan agama melebur menjadi satu arus besar mengawal kemanusiaan. Ketiadaan kemanusiaan merupakan sebuah masalah besar terhadap kemanusiaan itu sendiri, seperti yang terjadi belakangan ini, konflik berkepanjangan di Timur Tengah yang tidak kunjung usai mulai dari ISIS, konflik Syiria, Afghanistan, Yaman, Irak dan konflik-konflik sektarian di dalam negeri merupakan problematika.
Islam seolah tidak mampu menjadi penengah, esensi islam sebagai agama yang manusiawi seolah hilang, islam sebagai agama yang ramah menjelma menjadi agama yang marah. Pemahaman terhadap islam yang terlalu dangkal, mengakibatkan banyak persoalan yang akan menimbulkan kehancuran terhadap peradaban manusia sebagai pemeran tunggal dalam scenario tuhan di bumi ini.
Dalam konteks seperti ini, perlu adanya sebuah pendekatan kemanusiaan untuk menggali nilai-nilai manusiawi, sebagai acuan membangun peradaban manusia secara global. Alasannya, karena pemahaman agama yang menganggap segala sesuatu yang dikerjakan manusia adalah untuk kepentingan tuhan semata, agama tanpa menghiraukan nilai kemanusiaan justru melanggengkan kekerasan, oleh sebab itu paradigma keagamaan harus di geser dari teosentris (pusat tuhan) menuju antroposentris ( pusat manusia).
Maksud penggeseran dari teosentris ke antroposentris disini adalah bukan menjadikan manusia sebagai obyek utama dengan menghilangkan keberadaan tuhan, tapi lebih ke aspek keagaamaan yang pro kepada aspirasi dan kemaslahatan manusia itu sendiri, yaitu keberagamaan yang bersifat antroposentris.
Banyak manusia binasa karena perseteruan dan peperangan atas nama agama, dan itu terjadi bukan hanya antar umat yang berbeda agama, tetapi juga antar penganut agama di dalam satu agama tertentu, sejarah agama agama betul-betul diwarnai dengan semangat kebencian dan pertikaian, serta dilumuri darah berceceran pada setiap peperangan, nyawa pun melayang ribuan, bahkan mungkin jutaan.
Pada dasarnya kita mempunyai agama yang memadai untuk kita saling membenci, tetapi tidak memadai untuk kita saling mencintai, agama yang memiliki dua wajah ganda seperti uang logam, seolah menjadi sebuah problematika bagi para pengikutnya, di satu sisi mengajarkan kasih sayang, perdamaian dan toleransi, disisi lain juga telah menjelma menjadi sosok mengerikan sekaligus menakutkan sehingga mendapatkan legitimasi dari pengikut agama lain. Melihat ironi sedemikian rupa, tepatlahkiranya mengutip apa yang pernahdikatakan seorang filosof humaniszaman klasik Islam, Abu Hayyan At- Tauhidi (923-1023): «Al-insân asykala ’alaihil insân» (sungguh, manusia telah sengsara oleh manusia lainnya!).
Islam sebagai sebuah ajaran dikenal sebagai agama yang sangat humanis, bahkan konsep tauhid sebagai dimensi ideal-transendental dalam ajaran islam tidak boleh dipisahkan dari kehidupan sosialnya, sebagaimana ajaran tasawuf yang pada dasarnya mengorientasikan diri terhadap Tuhan semata. Ia mampu berdialektika dengan keadaan social umat islam, namun sayangnya, secara empiris dalam masyarakat, ajaran yang humanis dan menekankan nilai nilai social tidak nampak kental dalam masyarakat muslim kita, justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Hal ini bisa dilihat dengan adanya kesenjangan dalam realitas masyarakat muslim, antara nilai-nilai agama yang bersifat ideologi dengan nilai-nilai sosialnya. Orang islam lebih tersinggung jika agamanya dilecehkan, sementara tidak tersinggung jika ada ketimangan social dimana-mana. Disini ada degradasi nilai-nilai social dan kemanusian, padahal jika dicermati ajaran islam memiliki nilai-nilai social dan kode etik yang tinggi, bahkan dimensi syariah islamiah dan akhlak dalam islam memiliki jangkauan yang sangat luas jika dibandingkan dengan dimensi aqidah.
Kita sering mendapati seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal, misalnya dalam surat al-baqarah ayat kedua bahwasanya disebutkan agar manusia itu menjadi Muttaqin, yaitu orang taqwa atau beriman ‘’percaya kepada yang ghaib‘’ kemudian mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dalam ayat ini kita melihat trilogi; iman, shalat,zakat.
Sementara dalam formulasi yang lain, kita juga mengenal trilogy;iman,ilmu, amal. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa iman berujung pada amal dan aksi, yang artinya tauhid harus diaktualisasikan sebagai pusat keimanan islam, yang berorientasi pada kemanusiaan untuk memperjuangkan kemuliaan peradaban manusia bukan merusaknya.
Filsafat timur yang selalu menekankan terhadap pentingnya pengendalian diri dan menyatakan bahwa musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri, merupakan bentuk penekanan terhadap aspek-aspek kemanusiaan yang ada pada diri manusia, akhir-akhir ini bisa kita amati bahwa banyak sekali manusia yang tidak manusiawi, hal ini jelas keluar dari esensi manusia sebagai mahkluk yang manusiawi, kejadian seperti itu dikarenakan tidak adanya pengendalian terhadap diri manusia tersebut, sikap ke-tidakmanusiawian berangkat dari sikap ketidak sederhanaan, dimana manusia akan menjadi buta akan sisimanusiawinya, karena terikat gemerlap duniawi. Inilah yang memungkinkan seseorang untuk melakukan kejahatan terhadap orang lain, demi ketamakan dan keranjing duniawi.
Di sisi lain, ke-tidakmanusiawian juga berangkat dari sifat eksklusif, sifat yang merasa diri terpisah dari diri orang lain, komunitas lain. Imperialisme atau penjajahan terhadap bangsa lainadalah salah satu bentuk sifat eksklusif. Anggapan bahwa bangsa lain, bangsa yang terpisah dari bangsa sendiria dalah bangsa yang lemah dan pantas ditindas, dijajah dan dijarah.
Teori yang diungkapkan Darwin bahwa sel yang kuat akan mengalahkan sel yang lemah dan akan tumbuh dengan cepat, teori inilah yang menjadi landasan barat menjadi imperialis terhadap negara-negara kecil, bahkan Bangsa Barat membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memahami arti humanisme.
Harus terjadi perang antar agama, genosida dan perang dunia dulu untuk mengenal humanisme, dan perang itu pun sebenarnya masih berlangsung hingga kini. Penyebab lain terjadi ketika seseorang merasa dirinya mulia atau paling benar, karena telah mengamalkan apa yang diamalkan oleh Rosulullah SAW, kemudian melegitimasi yang lain dengan se-enaknya.
Ada banyak macam tentang bentuk bentuk ketidak humanisan saat ini, termasuk yang sudah ada sejak ribuan tahun silam, strata social berdasarkan garis keturunan masih berlaku diberbagai negara termasuk Indonesia, dari berbagai suku dan agama, sampe diskriminasi mewarnai ketidak-humanisan manusia pada zaman sekarang, dan masih banyak lagi kalau di tulis semua disini.
Sebagai manusia yang diberi hati nurani oleh tuhan, di mana hati nurani sebagai pusat akan sikap dan kelakuan manusia, maka sewajarnya manusia untuk menjaga otak dan hatinya agar bersih dari distraksi-distraksi baik itu ego ataupun perasaan, serta factor-factor yang tidak ada hubungannya dengan hati nurani dan naluri. Sehingga sebagai seorang manusia bisa menampilkan sisi humanis sebagai mahkluk ciptaan tuhan yang sempurna, sehingga manusia mampu untuk melakukan kesadaran akan nilai-nilai humanisme yang ada pada dirinya, seperti tidak adanya diskriminasi terhadap kelompok tertentu, mencoba untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk manusia lain, komunikasi dengan manusia lain tanpa memandang SARA ( Suku, Ras dan Agama ). Tetapi kesadaran humanisme hanya muncul pada segelintir orang saja di dunia ini, kejahatan manusia masih saja terjadi, bahkan orang terdekat sekitar kita pun bisa melakukan kejahatan kemanusiaan pada kita.
Oleh karena itu, sisi kemanusiaan kita terletak pada bagaimana kita mengusahakan hidup kita untuk tidak seperti ‘anjing’ yang merobek robek kemanusiaan orang lain, anjing adalah binatang yang akan merobek dengan taringnya apa saja yang dianggapnya musuh, termasuk kawannya sendiri, binatang tidak pernah mendapatkan apa yang disebut martabat, karena ia bukan ciptaan yang memiliki budi. sebab itu kemanusiaan kita ada pada kesadaran bahwa, aku dan dia adalah saudara sesama manusia, memiliki raga dan jiwa! Dalam keadaan apapun, bahkan ketika tersesat di padang pasir yang panas, gersang dan tidak ada apapun untuk diminum atau dimakan, sebagai manusia aku tidak akan memakan dia, meski keadaan memaksaku untuk itu.
Kemanusiaan seseorang terletak pada pensakralan hidup manusia lain yang notabenya memiliki hati, budi, jiwa dan raga yang sama, aku memiliki semua yang ada pada diri dia, sehingga aku tidak berhak menyakiti dia, justru aku memiliki kewajiban untuk melindungidia seutuhnya. Karena pada dasarnya antara satu dengan yang lain memiliki kewajiban untuk saling menopang dan membantu tanpa melihat apa latar belakangnya.
Kita pada dasarnya hanya butuh sedikit untuk bertoleransi. Tidak perlu melihat aku disakiti dia, maka aku harus menyakiti dia. Keyakinan sebuah nama dari keteguhan sebuah hati manusia untuk percaya. Yakin itu persoalan manusiawi bukanlah persolan illahi. Keyakinan adalah suara hati, kita memiliki suara hati dan itu manusiawi, yang ilahi adalah ketika cinta Allah menjadi penguasa dalam hidup, lalu dari sana terpancar sebuah kehidupan yang baik, memberi hidup bagi orang lain, memberi manfaat bagi orang lain, melihat orang lain sebagai ciptaan Allah yang sama dengan aku.
Humanisme menghargai sebesar besarnya kemanusiaan manusia, didalamnya humanisme berusaha melihat bahwa manusia memiliki harkatpaling tinggi yang tidak bisa ditawar lagi. Agama sebagai lembaga kehidupan yang mengakomodasi setiap pribadi untuk menghidupi keyakinannya akan cinta ilahi dalam kerangka yang lebih baik dan teratur, dari berbagai banyak agama semuanya mengajarkan dengan ikhlas ajaran-ajaran yang terkandung dalam humanisme, agama-agama tersebut mengajarkan para umatnya untuk menghargai kehidupan manusia, termasuk agama islam, agama yang Rahmatan Lil Alamin bukan sekadar agama yang Rahmatan Lil Muslimin saja.
Setidaknya kita belajar sampe ke jenjang tertinggi bukan hanya untuk mempelajari ilmu-ilmu yang amat ribet, namun juga mempelajari bagamaimana menjadi manusia yang bisa menghargai dan memanusiakan manusia yang lain, bukan malah menjustisfikasi, merendahkan atau malah mendiskriminasi.
Oleh sebab itu apapun dan siapa pun itu, bagaimana pun motifnya, kepentingan apapun didalamnya, kita harus menghargai kehidupan.Agama tanpa humanisme bukanlah agama, dan humanisme tanpa agama bukanlah humanisme.
Sekarang mari kita renungkan, kita ini seorang yang beragama atau seorang yang humanis? Atau manusia yang beragama atau seorang manusia yang humanis? Atau bahkan bukan dua-duanya?