Jika Anda pecinta ziarah dan suatu saat mengadakan perjalanan melintas jalan Solo-Yogya, maka sempatkanlah rehat barang sejenak di salah satu tempat pemberhentian yang menurut saya sangat mengesankan. Tepatnya di Desa Troso, Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Klaten. Letaknya di sebelah utara pusat kota Klaten. Tandanya, dari jalan raya Solo-Yogya Anda akan melihat gapura bertuliskan Pondok Pesantren Al-Muttaqien. Dari situ Anda tinggal berjalan ke arah barat sekitar 500 meter, lalu Anda akan memasuki kawasan pesantren.
Setiba di pesantren, berjalanlah ke arah selatan untuk menziarahi makam salah seorang pendekar bangsa. Beliau yang menciptakan nuansa keislaman sekaligus nasionalis yang kental di kawasan itu. Seorang ulama yang sangat mencintai Indonesia. Begitu banyak slogan-slogan yang berbau nasionalisme dan patriotisme terpampang di sana. Anda juga akan melihat bendera Merah Putih yang sangat besar berkibar dengan gagah. Di sana bersemayam teladan kita. Ulama yang jangan sampai kita lupakan perannya: Mbah Liem, kyai nyentrik yang merupakan salah satu santri Mbah Siradj, Pajang.
Suatu hari saya mendengar kisah tentang al-Magfurlah Rama Kyai Moslim Rifa’i Imam Puro atau yang kita kenal dengan Mbah Liem, pendiri Pondok Pesantren al-Muttaqien Pancasila Sakti, Klaten. Menurut Sang pengisah, Mbah Liem adalah salah seorang ulama dari golongan khawariq. Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa pengisah adalah seorang gus, putra dari Kyai Jadug yang cukup dikenal di Rembang. Semenjak tamat nyantri dari Lirboyo, pengisah meninggalkan rumah orang tuanya, entah karena sebab apa, tapi sepertinya ia terusir. Ia lantas hijrah ke Saudi, tidak jelas juga apa tujuannya.
Di Saudi ia hanya ingin hidup sebagai manusia biasa sebagaimana umumnya orang Indonesia yang berada di sana, kalau tidak jadi pembantu rumah tangga ya jadi pedagang. Begitulah, ia menjadi pangeran terbuang sebagaimana Pangeran Zuko dalam cerita Avatar Legenda Aang yang melanglang buana mencari jati diri. Akhirnya nasib mengantarnya menjadi seorang pedagang yang menjual berbagai kebutuhan yang diperlukan para jamaah haji dan umroh. Ia hidup di Saudi dan menikah dengan seorang WNI yang juga tinggal di sana.
Setelah bertahun-tahun hidup di Saudi dan merasa nyaman berada di sana, sang pengisah tidak pernah memiliki niatan sama sekali untuk kembali ke Indonesia. Di sinilah kisah interaksinya dengan Mbah Liem dimulai.
Pada suatu hari saat ia berada di tempat tinggalnya bersama istri di Saudi, tiba-tiba datang seseorang bertamu. Tamu itu adalah orang tua yang dari penampilannya jelas menunjukkan orang Indonesia. Tamu tak dikenal itu tanpa banyak kata pengantar langsung marah memaki-maki sang pengisah dan istrinya, “Karepmu kepiye, kok ora muleh-muleh nyang Indonesia? Kowe kui luwih dibutuhke neng kono, aja mung golek tentereme dewe! Ayo bali!!” Kalimat demi kalimat terlontar dari bibir orang tua itu dengan nada keras dan cukup kasar, menunjukkan bahwa ia sedang marah.
Pengisah terheran-heran dan bergumam dalam hati, “Siapa tamu ini? Mengapa ia marah-marah seperti ini? Bagaimana ia mengenalku?” Akhirnya ia tahu bahwa si tamu adalah seorang kyai pengasuh salah satu pesantren di Jawa Tengah. Beliau adalah Mbah Liem. Tutur kata Mbah Liem yang menyerunya untuk pulang ke negeri asal selalu menghantuinya. Terus terngiang dan menggema.
Semenjak saat itu sang pengisah mulai berpikir untuk pulang ke Indonesia, ia rasa benar juga kalau kepergiannya dari Indonesia bagaikan lelaki yang merasa kalah sebelum bertanding atau seperti pejuang yang melarikan diri dari medan perang. Lahirlah kesadaran dalam hatinya tanggung jawab untuk turut berdakwah di Indonesia. Ia tak tahu harus memulai dari mana. Tidak mungkin pulang ke kampung kelahiran karena sang ayah sudah mengusirnya. Tapi pokoknya ia harus pulang dulu ke Indonesia.
Setelah rencana tersusun sedemikian rupa, pulanglah ia ke Indonesia menuju tempat kelahiran istrinya di Cilacap, Jawa Tengah. Singkat cerita, sang pengisah kini menjadi seorang guru bagi beberapa santri dan menjadi penggerak masyarakat pecinta Nabi dengan mendirikan padepokan kecil yang diberi nama al-Muhibbien. Salah satu program rutinnya adalah menyelenggarakan majelis Ratib al-Haddad. Selain itu masyarakat sekitar mengenalnya sebagai ustadznya para gentho (begundal).
Demikianlah sekelumit kisah tentang Mbah Liem yang sangat cinta Indonesia. Sehingga ketika beliau mengetahui adanya potensi untuk menjaga Indonesia sekecil apa pun akan beliau lakukan usaha untuk menumbuhkannya. Semoga semangat Mbah Liem tumbuh dalam diri kita semua, dan Allah senantiasa meninggikan derajatnya wa yanfa’una bi asrarihi, wa anwarihi wa ‘ulumihi, wa barakatihi fiddini waddunya wal akhirah. Amiin.[]
Nasihin Azis Raharjo adalah alumni UIN Jakarta. Tinggal di Solo.
Sumber gambar di sini