Jabal Uhud adalah nama dari sebuah bukit terbesar yang berada di kota Madinah. Letaknya kurang lebih 4 – 5 km dari pusat kota Madinah. Tepatnya berada di pinggir jalan lama antara kota Madinah-Makkah. Tidak seperti bukit-bukit yang lain di Madinah, Bukit Uhud atau Jabal Uhud berdiri sendiri, tidak menyambung dengan yang lain. Itulah kenapa ia disebut Bukit Uhud, yang artinya yang sendiri. Bagi jamaah haji wajib untuk mengunjungi lokasi ini.
Mulai tahun 1984 perjalanan haji dari kota Makkah ke Madinah atau dari Madinah Jeddah tidak lagi melalui jalan lama tersebut. Akan tetapi, melalui jalan baru yang tidak melewati pinggir Jabal Uhud.
Dulu, di lembah bukit ini pernah terjadi perang dahsyat yaitu Perang Uhud. Peperangan antara kaum muslimin yang berjumlah 700 orang melawan kaum musyrikin Makkah yang berjumlah lebih banyak, 3000 orang. Sebelum pertempuran itu, pasukan musyrikin dikalahkan oleh pasukan muslim yang jumlahnya tidak sebanding dengan musuh. Peperangan itu kelak dikenal dengan nama Perang Badar dan menewaskan 915 (1300 pada riwayat lain) dari pihak musyrikin melawan hanya 313 pasukan muslim. Tapi, di Pada pertempuran tersebut ada 70 orang syuhada yang meninggal, antara lain Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa Uhud
Perang Uhud terjadi pada tahun ke-3 Hijriyah. Waktu itu kaum musyrikin Makkah sampai di perbatasan Madinah, umat Islam mengadakan musyawarah bersama para sahabat yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Para sahabat mengusulkan agar umat Islam menyongsong kedatangan musuh di luar kota Madinah. Usul ini pun disetujui oleh Nabi.
Nabi menempatkan beberapa orang pemanah di atas gunung Uhud. Pasukan pemanah ini berada di bawah pimpinan Mash’ab bin Umair untuk melancarkan serangan-serangan ketika pihak musuh menggempur kedudukan umat Islam. Dalam perang dahsyat tersebut umat Islam mendapat kemenangan yang gemilang. Akibatnya, kaum musyrikin lari pontang-panting.
Tidak Mematuhi Nabi
Selepas itu, beberapa pemanah muslim yang berada di atas gunung Uhud turun bukit. Mereka melihat barang-barang yang ditinggalkan oleh musuh. Akibatnya, banyak yang meninggalkan pos untuk turut mengambil barang-barang tersebut. Sebagai maestro Perang, sebenarnya Nabi melarang mereka meninggalkan pos dan tetap memertahankan posisi, apa pun yang terjadi.
Adanya pengosongan pos oleh pemanah tersebut amatlah sangat dimanfaatkan dan digunakan oleh Khalid bin Walid—sebelum ia masuk islam—dan sosok itu merupakan seorang ahli strategi. Ia memimpin tentara berkuda, menggerakkan tentaranya kembali guna menyerang mereka yang turun, sehingga umat Islam mengalami kekalahan yang tidak sedikit. Ada sampai 70 orang sahabat gugur sebagai syuhada’.
Dalam perang ini pun, Hindun binti ‘Utbah mengupah Wahsyi Alhabsyi, budak Zubair, untuk membunuh Hamzah, karena ayah Hindun dibunuh oleh Hamzah dalam perang Badar. Begitu pula Zubair bin Mut’im berjanji kepada Wahsyi akan memerdekakannya setelah ia membunuh paman Zubair dalam perang Badar.
Nabi Muhammad SAW sendiri dalam peperangan tersebut mendapatkan luka. Para sahabat menduga bahwa nabi gugur karena tubuhnya penuh anak panah. Tapi, ternyata beliau masih selamat. Nabi ingin mengingatkan mereka yang turun tapi musuh sudah tiba terlebih dahulu dan membuat pasukan muslim kocar-kacir dan menderita kekalahan.
Setelah perang usai, musuh mengundurkan diri dan kembali ke Makkah. Nabi pun memerintahkan agar mereka yang gugur dimakamkan di tempat mereka roboh. Sehingga ada satu liang kubur berisi beberapa syuhada, kuburan Uhud waktu sekarang dikelilingi tembok.
Hikmah yang bisa kita ambil secara garis besar dari peristiwa atau sejarah Jabal Uhud adalah tentang kepatuhan terhadap pemimpin. Beda ceritanya antara Perang Badar dan Perang Uhud. Ketika Perang Badar, semua tunduk dan patuh pada pimpinan, yakni Nabi Muhammad. Mereka menang tanpa cacat. Tapi lihat di perang Uhud. Ketika para asukan pemanah tergoda oleh harta rampasan perang, mereka lupa akan tugas dan instruksi yang diberikan Rasulullah. Akibatnya, pos pengamanan diambil alih dan pasukan musyrikin balik menggempur, membunuh 70 syuhada’.
Perihal peristiwa ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 59, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasulnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya.”[]