Ia seperti orang muslim kebanyakan. Bedanya, ia tekun belajar agama dan menjadikan pemahaman keagamaan ini sebagai kekuatan untuk melawan penjajah ketika masa revolusi pecah. Pemahaman itu tentu saja tidak datang dengan tiba-tiba. Sedari kecil, Umri kecil mempunyai minat tinggi terhadap ilmu-ilmu agama. Dalam usia 7 tahun, Umri belajar di Volksschool (Sekolah Rakyat) dan sorenya belajar Tajwid, Nahwu, Shorof, Fiqih, Tauhid, dan lain-lain di madrasah. Ia ingin kelak belajar di pesantren.
Ketika tamat Sekolah Rakyat, Umri sudah hafal Al-Qur’an. Beberapa tahun setelahnya, tatkala ia mulai dewasa dan Jepang datang serta mulai melakukan penjajahan, ia melakukan perlawanan.
Perlawanan di Hari Jum’at
Bagi KH Zainal Mustafa dan santri, mereka bersikap akan melawan jika Jepang menyerang meski sadar bahwa Jepang sangat kuat dan kejam. Tujuan utamanya bukan untuk mengalahkan Jepang, tapi untuk menunjukkan bahwa rakyat Indonesia akan bangkit dan melawan jika selalu ditindas.
Pada 23 Februari 1944 Jepang mengirim utusan ke pesantren. Mereka mengancam KH Zainal Mustafa, para santri, dan penduduk desa. Esoknya, 24 Februari, Jepang mengerahkan pasukan Kempetai yang dipimpin pejabat lokal yang memihak Jepang seperti Camat Cakrawilaksana, Sastramaun (Lurah Cimerah), Suhandi (juru tulis), dan Muhri (Kepala Kampung Punduh). Mereka ingin meringkus KH Zainal Mustafa.
Terjadi bentrok fisik dengan para santri. Senjata-senjata Jepang berhasil direbut yaitu 12 senapan, 3 pucuk pistol, dan 25 senjata tajam.Senjata-senjata itu disimpan dan tidak digunakan. KH Zainal Mustafa sadar, Jepang pasti akan datang lagi dengan kekuatan yang lebih besar.
Pada 25 Februari 1944 sebelum pelaksanaan Shalat Jum’at, KH Zainal Mustafa menyampaikan hal itu, kemudian memberi kebebasanpilihan jika ada santri memilih mengundurkan diri atau pulang ke kampung masing-masing. Semua santri ternyata lebih memilih ikut melawan.
Saat khutbah Jum’at, Jepang mengepung rapat pesantren dan masjid. KH Zainal Mustafa meminta jamaah tenang dan menyelesaikan Shalat Jum’at.Setelah itu ditemuinya pasukan Kempeitai di Gunung Bentang. Seorang perwira Jepang minta agar berbicara di masjid. Tapi ketika bicara, nadanya begitu congkak sambil mengancam KH Zainal Mustafa akan dihukum berat.
Setelah itu perwira Jepang itu membujuk lagi; KH Zainal Mustafa tidak akan dihukum asal mau minta ampun. Jamaah pun tersinggung karena perkataan perwira Jepang, bahwa jika satu orang Jepang mati maka harus ditebus seribu nyawa orang Indonesia. Suasana pun berubah gaduh, dan Jepang telah bersiap.Saat itu juga KH Zainal Mustafa mengeluarkan komando perlawanan. Perkelahian pun pecah!
Dalam perkelahian di persawahan, tiga polisi Jepang tewas dan satu melarikan diri. Melihat ini Jepang pun marah besar. Selanjutnya dikirim 6 kompi tentara,dan Desa Sukamanah pun dikepung dari tiga arah; selatan, timur, dan utara. Menjelang Ashar, Jepang dengan menggunakan kendaran lapis baja berusaha menerjang pesantren. Mereka juga sengaja memaksa beberapa penduduk desa berdiri di barisan depan.
Cara licik ini membuat para santri menjadi ragu karena berhadapan dengan rakyat sendiri. Melihat hal ini KH Zainal Mustafa memerintahkan untuk tidak melakukan perlawanan dulu.
Tentara Jepang sempat tertahan karena rintangan yang dipasang di jalan. Sementaradi pesantren dibuat barikade tumpukan batu. Di tengah riuhnya tembakan, para santri dan penduduk desa menghadapi serangan dengan persenjataan seadanya seperti golok, pedang, parang, bambu runcing, dan batu. Duel jarak pendek pu terjadi.
Karena kalah senjata, KH Zainal Mustafa dan para santrimundur pada menjelang malam. Tentara Jepang selanjutnya merangsek ke pesantren. Mertua KH Zainal Mustafa,H. Syamsuddin, dibunuh Jepang di tempat itu.
Malam itu juga,KH Zainal Mustafa yang mundur ke Kampung Cihaur,ditangkap bersama dengan Kyai Najamuddin, Kyai Umar, Domon, A. Hidayat, serta 27 santri.Dari 26-29 Februari 1944 banyak penduduk desa disekitar pesantren yang ditangkap tentara Jepang.
Penjara Tasikmalaya menjadi penuh, dan KH Zainal Mustafa sendiri menjalani proses interogasi selama 3 bulan. Interogasi itu dilakukan dengan siksaan-siksaan berat. Setelah itu, keberadaannya tidak jelas karena KH Zainal Mustafa dipindahkan ke Cipinang, Jakarta.
Secara politik, akibat yang ditimbulkan dari meletusnya perlawanan itu membuat pemerintah militer (Gunseikan-bu) Jepang di Jakarta merasa was-was karena khawatir perlawanan seperti itu akan ditiru kyai-kyai lain.
Hal ini dikarenakan pada masa itu Gunseikan-bu Jepang sedang aktif melakukan upaya mendekati dan menarik simpati kaum islam Indonesia, khususnya kaum islam tradisional. Jepang kemudian mencopot Kepala Shumubu (Kantor/Departemen Agama masa Jepang) yang berlatar belakang priayi yaitu Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat. Dalam sebuah versi yang bersangkutan dianggap gagal terkait dengan meletusnya perlawanan KH Zainal Mustafa itu.
Untuk selanjutnya jabatan Kepala Shumubu atau Shumubu-cho dipercayakan kepada KH Hasjim Asj’arie, seorang kyai kharismatik dan pimpinan Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Tidak hanya Hussein Djajadiningrat saja yang diberhentikan. Bupati Tasikmalaya, Raden T.A. Wiradipoetra, juga dipecat. Pejabat lainnya, Raden Otong Natakoesoema (Wedana Singaparna) mendapat teguran keras. Sementara gaji pimpinan Pos Kepolisian Tasikmalaya diturunkan 10% hingga bulan Mei 1944.
Ada penilaian, pengangkatan KH Hasjim Asj’arie sebagai Shumubu-cho,tidak lebih sebagai ketakutan terselubung Jepang yang tidak menginginkan timbulnya perlawanan masif rakyat dan umat Islam Indonesia.
Jika hal itu terjadi, semakin berat beban yang ditanggungnya. Di satu sisi, mereka (Jepang) berhadapan dengan perlawanan rakyat dan umat Islam Indonesia, dan di sisi lain mereka juga sedang terdesak oleh gerak maju pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II di Asia-Pasifik.
Hingga Indonesia merdeka, keberadaan KH Zainal Mustafa masih kabur. Baru pada tahun 1970 didapatkan keterangan; KH Zainal Mustafa dan para santri telah dibunuh Jepang pada 25 Oktober 1944.
Kemudian pada 23 Maret 1970 keberadaan makam para syuhada bangsa itu ditemukan,yakni di Pemakaman Ereveld, Ancol, Jakarta Utara. Makamnya kemudian dipindahkan ke Taman Pahlawan Sukamanah, Tasikmalaya, pada tahun 1973. Sebagai pengakuan atas perjuangannya, pemerintah Republik Indonesia menganugerahi KH Zainal Mustafa sebagai Pahlawan Nasional.[habis]