Siapa yang peduli kalau Rabu Petang, 29 Dzulhijjah 1438 H kemarin, rukyatul hilal tidak berhasil. Jika pun ada yang lapor berhasil rukyat, secara prosedural laporan tidak bisa diterima karena berdasarkan hisab posisi hilal belum dinyatakan memenuhi kriteria visibilitas pengamatan (imkanur rukyat). Pemerintah juga pura-pura tidak tahu dan memang tidak mengagendakan sidang itsbat untuk awal bulan selain tiga bulan ibadah wajib: Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Jadi sebenarnya tahun baru Hijriyah baru jatuh pada hari Jumat besok.
Namun siapa di dunia seluler ini yang bisa menghalangi orang untuk saling berbagi doa akhir tahun dan awal tahun hijriyah? Sebagian orang bahkan sudah mencuri start membagikan ucapan selamat tahun baru Islam sejak sehari sebelumnya. Sebagian lagi berbagi hikmah dan keutamaan berpuasa dan keutamaan lain di bulan Muharram, entah dari mana mereka dapatkan itu. Dan tibalah saatnya sore hari menjelang magrib, doa akhir tahun diucapkan; sendiri-sendiri atau berjamaah di musholla. Selepas maghrib, giliran membaca doa awal tahun hijriyah, 1439 H.
Malam hari selepas isya adalah saat-saat yang sudah ditentukan dalam rapat RT sejak beberapa hari lalu. Anak-anak berbaris membawa obor berkeliling kampung. Ibu-ibu dan bapak-bapaknya mengiringi di belakang mereka dengan baju muslim layaknya akan shalat. Pemimpin barisan tak jemu-jemu mengingatkan rombongan untuk terus membaca shalawat seketika setelah bacaan berhenti karena bunyi “dar der dor” petasan atau suara “telolet” dari odong-odong yang ditumpangi anak-anak dari RT kami. Ada juga pemandu kelompok pawai obor yang berteriak “takbir!”. Lalu anak-anak berteriak lucu, “Allahu akbar, Allahu akbar”, tidak mirip seperti yang diteriakkan dalam demonstrasi 212.
Lima tahun lalu ketika saya mulai tinggal di pinggiran kota Depok, suasananya tidak semeriah tadi malam. Tahun baru hijriyah disambut semakin semarak dari waktu ke waktu. Tiap RT ingin tampil memeriahkan malam tahun baru Islam. Ada yang konvensional sekedar membawa obor atau berkeliling kampung. Ada yang membawa grup rebana di depan rombongan dengan pakaian seragam lengkap. Di beberapa titik kami berkeliling juga sudah langganan menyelenggarakan acara shalawatan dan perlombaan-perlombaan religi setiap tahun.
Proses pembentukan apa itu yang disebut kultur islami atau katakanlah moslim life style terus berlangsung di Indonesia. Islam masuk ke wilayah Nusantara memang mudah sekali, karena yang sebenarnya dilakukan, meminjam istilah Gus Dur hanyalah “pengislaman terbatas”, hanya pada aspek-aspek tertentu saja yang dinilai urgen. Orang Indonesia secara sukarela masuk Islam. Kemudian secara bertahap Islamisasi terus terjadi. Puncaknya kira-kira ketika kaum muslimin berbondong-bondong berangkat haji dan sebagian mukim di Makkah untuk mendalami agama Islam pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20; ketika dikembangkan mesin uap dan dibukanya Terusan Suez. Berbagai teks Arab yang berisi tentang ajaran Islam mulai dibawa ke pondok-pondok pesantren sebagai pusat pengajaran Islam.
Kini di zaman seluler, tak perlu menunggu orang datang haji atau belajar kitab kuning. Konten keislaman dalam narasi singkat, gambar atau video kreatif mudah sekali didapatkan lalu disebarkan secara viral dengan sekali pencet. Hikmah dan berbagai tata ajaran Islam sudah siap diedarkan sesuai dengan deretan tanggal dan bulan dalam kalender Islam. Ditambah lagi: Peristiwa-peristiwa spontan di berbagai belahan dunia Muslim juga tak urung menjadi bahan copy-paste dan tidak berselang lama sudah tersebar ke berbagai penjuru negeri mayoritas muslim bernama Indonesia; dan mempercepat proses islamisasi itu. Orang bahkan tidak sempat membaca atau menonton apa yang akan mereka sebarkan kepada grup, kawan atau kolega melalui alat selulernya itu. Semangat berislam mendahului konfirmasi benar atau tidak informasi yang beredar.
Sementara itu di sisi lain, dari meja-meja legislasi dan di kantor-kantor pemerintah daerah sudah banyak bermunculan peraturan-peraturan daerah yang disebut perda syariah. Para pengamat boleh saja menggerutu dengan kenyataan ini, tapi siapa sangka beberapa laporan penelitian yang mereka lakukan sendiri menunjukkan bahwa perda-perda syariah itu kebanyakan muncul bukan dari partai politik Islam. Semangat berislam di berbagai daerah harus disambut oleh para politisi jika mereka ingin terus berkuasa. Jika perlu, mereka harus tampil palng Islami; mereka harus berada di garda terdepan dalam proses islamisasi itu.
Semenjak akhir era orde baru dan puncaknya setelah era reformasi 1998, beberapa produk hukum Islam juga sudah menjelma menjadi produk hukum nasional. Ada undang-undang perkawinan, pengadilan agama, penyelenggaraan haji, pengelolaan zakat, wakaf, pornografi, jaminan produk halal dan mungkin masih banyak lagi aspirasi umat Islam yang telah dilegislasi secara nasional. Secara politik, Kementerian Agama menjadi jembatan dari semua proses legislasi hukum Islam ini. Demokrasi yang dianut juga selalu mengidolakan populisme dan hitungan jumlah massa umat Islam. Kalau masih ada yang bercita-cita mendirikan khilafah atau negara Islam, pertanyaannya, kurang Islam apa negaramu Indonesia ini?