Ia hanyalah sebuah nama yang tersusun dari dua suku kata yang mungkin belum pernah dipakai untuk sebuah nama seseorang. Sebab dua suku kata tersebut kontras dan terkesan paradoks dalam pemaknaannya. Yang satu menisbatkan pada sosok manusia shalih dan beriman. Sedangkan yang satunya lagi merujuk pada sosok manusia radikal-revolusioner dan tidak mengakui adanya Tuhan. Meski pada kenyataannya, tidak semua orang yang punya label komunis itu atheis.
Dalam konteks Indonesia, pada awal abad dua puluh, telah muncul sosok Haji Misbach. Lelaki tua setengah baya asal Solo yang mampu mengawinkan dua kata tersebut: Muslim al-Syuyu’i -Orang Islam yang Komunis. Dalam pandangannya, ajaran egaliter, persamaan derajat, sama rata sama rasa, dan keadilan sosial yang menjadi inti ajaran orang komunis adalah ajaran Islam juga.
Haji Misbach merasa kecewa terhadap gerakan Sarekat Islam pimpinan Cokroaminoto, yang memperlihatkan semakin mengalami lesu darah dan tidak ada semangat revolusioner dalam merombak struktur sosial buatan penjajah Belanda. Kemudian ia berpaling dan menoleh ke arah gerakan orang-orang komunis yang tak kenal kompromi dalam memperjuangkan semangat egaliterianisme dan keadilan sosial tersebut.
Di panggung sejarah, Haji Misbach telah tampil sebagai sosok muslim yang komunis. Ia tidak hendak melecehkan citra muslim dengan mempertaruhkannya pada label komunis di belakangnya. Ia hendak menegaskan, bahwa sosok muslim sejati adalah sosok manusia yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, anti penindasan, kapitalisme, diskriminasi dan ketidakadilan sosial.
Ia adalah sosok ulama yang taat beribadah tapi tidak mengabaikan realitas sosialnya. Baginya, melawan ketidakadilan, kezaliman, penindasan dan pembodohan masif adalah amanat Tuhan yang harus dijalankan. Itulah sebabnya ia membangun gerakan sayap merah yang radikal dan revolusioner yang merupakan sempalan dari gerakan Sarekat Islam pimpinan Cokroaminoto. Sehingga ketika itu muncul istilah SI putih dan SI merah pada gerakan tersebut.
Sikapnya yang pantang menyerah dan tak kenal kompromi menyebabkan ia dan kawan-kawan seperjuangannya di tangkap penjajah Belanda. Meski pada akhirnya ia harus meninggal di sebuah rumah tahanan di Digul, tapi semangat perlawanannya mampu mengilhami generasi sesudahnya.
Bagi Haji Misbach yang berwatak radikal-revolusioner, agama diposisikan sebagai alat pembebas kemanusiaan dari belenggu tirani. Dan ia menemukan spirit perlawanannya pada gerakan komunis. Haji Misbach berpandangan, bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan jika kaum tertindas mempunyai spirit perlawanan untuk merubah sistem dan aturan yang tiranik.
Agama, di mata Haji Misbach dipandang sebagai alat untuk membebaskan dan melestarikan manusia dan kemanusiaan di muka bumi. Bukan untuk membela eksistensi Tuhan. Sebab Tuhan telah kuasa dengan diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya, ia berhasil mengawinkan dua kata yang terkesan paradoks itu.
Seorang pemikir Islam kontemporer asal Mesir, Hassan Hanafi, dalam bukunya Minal Aqidah ilal Tsaurah -Dari Aqidah Menuju Revolusi, menegaskan bahwa pemahaman terhadap ajaran agama yang teosentris (hanya berkutat pada ranah ketuhanan) harus direkonstruksi ke ranah antroposentris (membela nilai-nilai kemanusiaan). Sebab tujuan Tuhan memberikan paket agama kepada umat manusia dengan mengutus para rasul sebagai jubir-Nya, tidak lain adalah untuk menyelamatkan kemanusiaan manusia di permukaan bumi.
Sehingga perjuangan untuk melawan segala bentuk penindasan secara otomatis telah memperoleh legitimasi dari Tuhan. Dan hal ini tersirat secara jelas melalui firman-Nya di hadapan para malaikat tentang keinginan-Nya menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk melestarikan kehidupan yang harmonis, berwibawa, bermartabat, dan menjunjung fitrah kemanusiaan. Karenanya, apapun bentuknya, segala perilaku sosial yang mengancam nilai-nilai kemanusiaan, disamping dikecam oleh Tuhan juga oleh mahluk seluruh alam.
Haji Misbach dengan segala konsekuensinya telah berhasil mengusung wacana sosialisme-religius ke ranah praksis. Ia berhasil membumikan Marxisme-Religius dalam konteks keindonesiaan. Pemahaman tentang muslim yang paripurna ia pertegas dengan sikap perlawanannya terhadap segala bentuk penindasan. Sebab baginya, sosok muslim yang ideal dan paripurna adalah manakala ia bisa menghayati pesan-pesan Tuhan dan punya kepedulian sosial dalam memperjuangkan harkat dan martabat manusia.
*Pernah dimuat dalam Majalah AL-FIKRAH edisi September 2003