Hal yang patut diceritakan berulang-ulang (karena harus diakui cukup sulit untuk dicontoh) dari sosok “Sang Guru Kedua” Al-Farabi—konon berhaluan Syiah Imamiah—adalah teladan yang cukup jarang ada di masyarakat muslim di masa-masa sekarang: sikap rasional.
Ketika mempelajari filsafat Plato dan Aristoteles, sembari mengarungi karir kesarjanaan dalam bidang kimia, matematika, astronomi, ketuhanan, fikih, manthiq, dan musik, Al-Farabi tidak serta merta mendasarkan argumentasinya pada satu kacamata: dogma.
Sudah jelas bahwa dogma bukanlah argumentasi obyektif. Karena tidak obyektif, maka ia bersifat irasional. Meskipun memercayai hal irasional bagi manusia adalah kondisi alamiah, namun tidak tepat jika itu dijadikan basis argumen pada hal-hal yang bersifat ilmiah. Sikap ilmiah mengharuskan seseorang untuk berpikir secara logis, sementara dogma serapat mungkin menutup celah untuk bersikap kritis.
Ketika dua hal itu berdialektika, hasilnya adalah Imam Al-Ghazali yang sempat mengecap kafir Al-Farabi dalam tiga masalah pokok teologi. Kejadian ini mirip dialami Ibnu Sina, murid Al-Farabi—yang darinya ia mengaku “samar memahami filsafat Aristoteles tanpa arahan dari buku Sang Guru Kedua”, ikut-ikutan dianggap kafir karena berhaluan Mu’tazilah yang kurang diterima oleh kalangan Sunni. Kendati demikian, pengecapan itu tidak bisa memungkiri faktual yang terjadi di dunia akademik buah pikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina tetap bertahan berabad-abad dan terus-menerus dikembangkan hingga kini.
Siapakah pemenangnya?
Meskipun dituntut Allah untuk selalu berpikir, pada lazimnya di bumi ini banyak dihuni manusia-manusia yang malas untuk menapaki level vita contemplativa, makhluk yang merenung. Kajian-kajian yang bersifat mendalam dan “sophisticated” cenderung kurang laku. Sementara informasi yang ringkas menjadi komoditi laris, karena dapat dicerna secara cepat, tanpa menguras otak dengan analisa yang berlapis-lapis. Inilah yang menjadi penyebab publik lebih nyaman menjadi “manusia kamar” dan menjaga jarak dengan jagad pengetahuan yang kritis.
Jika mengaca pada makin mengakarnya kebencian irasional terhadap Komunisme (Karl Marx) dan suburnya prasangka bohong pada Naturalisme (Charles Darwin), seperti ulasan Andre Barahamin, maka hal itu bukti bahwa publik lebih memilih berselimut tradisi netralitas mirip seperti bidak catur yang ketakutan berpolemik sehingga merasa nyaman menjadi “manusia kamar”.
Ramai-ramai mengharamkan Komunisme, namun jika ditagih definisi Komunisme tak kunjung dijelaskan secara rinci. Kenapa kesulitan? Karena argumentasi-argumentasi yang didapat berdasarkan dogma: bahwa Komunis adalah atheis, paham yang mendorong manusia untuk berbuat bengis, seperti yang tertuang pada pelabelan G30S/PKI.
Ramai-ramai membantah Naturalisme, namun jika ditagih uraian tentang teori Evolusi Charles Darwin tak kunjung dijelaskan secara rinci. Kenapa kesulitan? Lagi-lagi karena argumentasi yang didasarkan pada dogma: bahwa Adam—Sang Manusia Pertama—bukanlah kera, sementara Darwin berkesimpulan nenek moyang manusia adalah kera, maka tanpa menguras otak untuk membaca habis The Origin of Species Anda tahu sendiri bagaimana jawaban mereka.
Saya kira ini yang menjelaskan kenapa akhir-akhir ini banyak kita jumpai “ulasan” Zakir Naik paling ramai disebar dan direkomendasikan kepada masyarakat awam karena dianggap paling mampu menjaga iman. Begitu pula sains abal-abal Harun Yahya yang dirasa paling canggih membantah Charles Darwin yang mendatangkan keragu-raguan nenek moyang manusia adalah Nabi Adam (dan inilah satu-satunya kebenaran dalam Islam yang harus diperjuangkan).
Sementara perpindahan Felix Shiauw dan Irene Handono memeluk Islam, sembari memreteli kebobrokan agama lamanya dengan informasi utak-atik gathuk, memantapkan hati orang awam bahwa kebenaran yang hakiki pada akhirnya berpihak pada Islam karena berita ini dikabarkan oleh mantan “orang dalam”.
Satu hal yang mencemaskan dari kejadian ini adalah: fetitisme iman yang kian meningkat kerap disusul dengan meningkatnya konservatisme. Dan konservatisme yang kian meningkat, pada beberapa kasus, disusul keberanian untuk bertindak radikalisme.
Sekadar memberi contoh: mengritik Islam dianggap sebagai penistaan (Anda pasti tahu bagaimana nasib penista agama). Sementara menguliti kitab suci orang lain dianggap sebuah kajian yang mulia. Duh, saya ndak berani membayangkan bagaimana Indonesia sepuluh tahun ke depan jika dijejali oleh manusia-manusia beriman yang “keras kepala”.