Pada tanggal 30 April 2015, Sultan Yogyakarta mengeluarkan Sabda Raja. Salah satunya adalah merubah gelar Sultan Yogyakarta menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem IngkangSinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumemeng Kesepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalaga Langgening Bawono Langgeng Langgening Tata Panatagama.
Penambahan frasa Suryaning Mataram dalam gelar baru tersebut merupakan pertanda berakhirnya Perjanjian antara Ki Ageng Pamanahan dengan Ki Ageng Giring terkait Mataram Baru. Yaitu periode berdirinya Kerajaan Mataram – yang dikenal dengan Mataram Islam – hingga era Kasultanan Yogyakarta kini. Adapun Mataram lama adalah Mataram Kuno atau Mataram Hindu hingga kerajaan Pajang.
Artinya Mataram dipandang sebagai bagian periode peradaban warisan kerajaan-kerajaan kuno yang dihormati hingga era Majapahit, lalu kemudian dihidupkan kembali oleh Ki Ageng Pamanahan, Juru Martani dan Senopati sebagai kerjaan baru setelah mendapatkan tanah tersebut dari Hadiwijaya raja Pajang. Di mana kini warisan peradapan tersebut hadir salah satunya lewat eksistensi Kasultanan Yogyakarta.
Sejarah Mataram paling tidak bersumber pada Babad Tanah Jawi dan sejarah lisan atau tutur. Sumber berikutnya adalah hasil dari penelitian sejarah, yang sering juga menggunakan sumber Babad dan sejarah lisan juga menggunakan beberapa peninggalan sejarah dan penemuan arkeologi termasuk juga laporan dari orang-orang Barat, khususnya orang Portugis, Belanda dan Inggris.
Penelitian orang Barat, terutama H.J De Graff sedikitnya telah mampu merekontruksikan perkembangan Islam dan konsolidasi kekuasaan di Jawa, sebut saja hasil risetnya yang telah di Indonesiakan. Pertama. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI (2001); Kedua. Awal Kebangkitan Mataram. Masa Pemerintahan Senapati (1987). Ketiga. Puncak Kekuasaan Mataram. Politik Ekspansi Sultan Agung (1986)
Kelemahan dari studi De Graff hanya sepintas saja menceritakan ekspansi Ki Ageng Pamanahan ke Mataram dan ke Giring. Bahkan tidak memasukan perluasan Mataram ke Mangir.
Latar Sejarah
Giring terletak di pegunungan Sewu (Gunung Kidul). Secara nama, kata Giring familiar dengan kata Penderesan, atau penyadap nira atau kelapa. Pekerjaan ini, dapat dihubungkan dengan mitos Tunggul Petung, raja Prambanan, rajanya para penyadap nira. Ki Ageng Giring lebih dahulu berada di Bhumi Mataram, dibandingkan Ki Ageng Pamanahan yang merupakan pendatang dari Pajang.
Ki Ageng Ngenis adalah kakak seperguruan dari Mas Karebet (Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya) ketika berguru pada Sunan Kalijaga. Maka ketika Hadiwijaya berdaulat di Pajang, Ki Ageng Ngenis dibawa. Di Pajang, Ki Ageng Ngenis membawa anaknya Bagus Kacung, dan dua keponakannya, yaitu: Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, yang akhirnya mendapat pangkat lurah Tamtama dan Bagus Kacung mendapat tanah di daerah Manahan Solo hingga namanya berubah menjadi Ki Ageng Pamanahan. Ki Ageng Pamanahan berputra Raden Sarubut, yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya, dan namanya berubah menjadi Danang Sutawijaya dan berkedudukan di utara pasar, maka dia juga bergelar Raden Ngabehi Saloring Pasar.
Sutawijaya kemudian bergelar Senopati ketika ia memimpin pasukan Pajang untuk berperang dengan Jipang Panolang di bawah kekuasaan Aryo Panangsang. Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani, dan Ki Panjawi sepakat untuk merahasiakan keberhasilan Senopati membunuh Ario Panangsang, dan diakui bahwa yang membunuh adalah mereka, hal ini dilakukan agar hadiahnya tidak sederhana, karena Senapati masih muda dan anak angkat. Maka kemudian Ki Panjawi mendapatkan Pati dan Ki Ageng Pamanahan mendapatkan Mataram. Ki Ageng Pamanahan juga mengajak ki Juru Martani dan Senopati serta kerabatnya di Sela untuk turut serta ke Mataram. Setelah menguasai Mataram, Ki Ageng Pamanahan namanya berubah menjadi Kiai Gede Mataram.
Dalam tradisi Jawa, Ki Ageng Giring rajin bertapa atau bertirakat.. Upayanya berhasil dengan turunnya wangsit agar Ki Ageng Giring meminum kelapa yang dibawanya. Kelapa itu dibawa ke rumah, tetapi tidak langsung diminum. Ki Ageng Pamanahan datang berkunjung ke rumah Ki Ageng Giring, karena haus maka diminumlah air tersebut. Menghadapi keterlanjuran tersebut, Ki Ageng Giring menceritakan kepada Ki Ageng Pamanahan apa yang telah diminumnya dan meminta agar kelak keturunannya ketujuh boleh menggantikan posisi keturunan Pamanahan.
Secara tradisi, genealogis keturunan dan keilmuannya Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan dihubungkan dengan Brawijaya, Sunan Kalijaga, dan Sunan Tembayat. Dalam perkembangannya Pemakaman Tembayat atau Bayat di Klaten Jawa Tengah dan Giring membawa pengaruh dalam corak keislaman dari Kerajaan Mataram hingga Kasultanan Yogyakarta..
Makam dan Petilasan
Makam Ki Ageng Giring terletak di desa Sodo Kecamatan Paliyan Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sekitar komplek makam juga terdapat bangunan rumah yang dipercaya sebagai bekas kediaman Ki Ageng Giring. Di depan bangunan rumah terdapat pohon besar yang ada mata airnya. Tidak jauh dari kompleks tersebut ada sungai bernama kali Gowang. Makam dan Petilasan Ki Ageng Giring menjadikan desa Sodo menjadi desa wisata religi yang menyejarah dan ekologis.
Lokasi tersebut hingga kini tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi warga maupun para peziarah. Dan aspek sejarahanya tetap muncul menjadi salah satu spektrum dinamika kekuasaan dari Kerajaan Mataram hingg Kasultanan Yogyakarta modern sekarang ini sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.
Oleh: Gunawan
*Penulis tergabung dalam WAG Sharing Keistimewaan DIY. Ikut mempromosikan hak atas pangan, hak petani, hak nelayan dan hak-hak masyarakat pedesaan.