Yamin memberikannya nama: Piagam Jakarta. Dalam pidato memperingati Piagam Jakarta pada 22 Juni 1965, Sukarno menyebutnya: Jakarta Charter. Dr. Soekiman Wirjosandjojo memberinya istilah keren: Gentlement Agreement. Kerap saya dengar bahwa upaya mendirikan Negara Islam di Indonesia selalu mengungkit-ungkit Piagam Jakarta. Seolah-olah Indonesia sekarang punya hutang untuk mendirikan Negara Islam, dan telah mengkhianati Pancasila yang asli, yaitu Piagam Jakarta.
Dalam ceramahnya di depan mahasiswa Al-Ahgaf Yaman, di tengah masa kaburnya dari Indonesia, Habib Rizieq secara ceroboh mengategorikan Sukarno yang menginginkan negara ini bersifat sekuler (dalam konteks membidani Piagam Jakarta). Di Youtube pun Anda pasti mudah melihat video ceramahnya—yang membuat saya sakit hati sampai sekarang: “Pancasila Sukarno sila pertama ada di pantat!”
Benarkah Sukarno sedemikian bencinya dengan “asas ketuhanan”?
Panitia kecil berjumlah sembilan orang yang dipimpin Sukarno menguras otak selama 21 hari, serta memakan waktu satu pekan selama sidang BPUPKI, hanya demi meributkan sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Adalah Johannes Latuharhary, wakil dari Ambon, yang protes pada hasil tersebut. “Kalimat ini dapat menimbulkan kekacauan, terutama terhadap agama lain,” kenang Latuharhary.
Bagi masyarakat non-muslim Indonesia, menurut Latuharhary, kalimat itu rentan diskriminatif, dan cukup dianggap menusuk hati (kelak, pada sore hari setelah Proklamasi dibacakan Sukarno, Kaigun [Angkatan Laut Jepang yang menguasai Indonesia Timur dan Kalimantan] “mengancam” Hatta Indonesia Timur bakal lepas dari Republik Indonesia jika sila pertama itu tetap disahkan]).
Harus diakui secara jujur bahwa Sukarno sendiri yang menolak keberatan Latuharhary. Sukarno menyakinkan kekhawatiran itu tidak akan terwujud di kemudian hari. Sikap Sukarno ini didukung Agus Salim dan Wahid Hasyim Asyari.
Mr. Alex Maramis, satu-satunya non-muslim dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta, sama sekali tidak keberatan. Dan AA. Maramis pun pada 22 Juni ikut menandatanganinya.
“Ia (AA. Maramis) tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah diskriminasi,” begitu kenang Bung Hatta.
Akhirnya Piagam Jakarta disahkan sebagai “Mukadimah UUD 1945”, dan para tokoh-tokoh tersebut menyepakati kalimat yang masih sama. Dan Sukarno sendiri, selaku ketua, mengesahkannya.
Benarkah Sukarno itu sekuler (dengan tendensi negatif, tentunya)?
Agus Salim tahun 1928 mengkritik keras nasionalisme ala Eropa yang melibas habis ketuhanan pada Fajar Indonesia. Sembari pedas mengkritik pemahaman itu Agus Salim memberi alternatif yang paling relevan di Indonesia: nasionalisme religius. Gayung bersambut menyusul kritik itu, Sukarno menguliti habis nasionalisme Barat di Suluh Indonesia:
“Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakasnya Tuhan, dan membuat kita hidup di dalam ruh,” [Sukarno, 12 Agustus 1928]
Sampai pada 1 Juni 1945 ia mengajukan proposal Pancasila, Sukarno tidak goyah dengan gagasannya: nasionalisme berketuhanan!
Jika Habib Rizieq melihat para pendiri bangsa ini secara apriori, terlebih karena tidak mendukung Piagam Jakarta (termasuk Negara Islam dan penerapan Syariat Islam), ada baiknya berkaca pada Soepomo.
Penolakan Soepomo pada Negara Islam di Indonesia tidak lantas membuatnya menolak gagasan ketuhanan dalam negara. Bagi dia, “Negara Indonesia yang berdasarkan cita-cita luhur agama Islam” lebih cocok diterapkan di Indonesia daripada “Negara Islam”. Dia berharap negara ini memiliki moral dan berbudi luhur, sebagaimana Islam mengajarkan hal itu pada seluruh manusia.
Bagi sebagian orang, saat suatu negara tidak peduli dengan adat istiadat, lebih-lebih tidak menghormati ajaran agama (Islam), maka imbasnya pada sistem ketatanegaraan adalah seperti yang dicontohkan Nazi-isme (nasionalisme fasis ala Adolf Hitler). Di sinilah pendekatan yang sering diambil kelompok muslim kanan (seperti FPI, dan barangkali Habib Rizieq sendiri) bahwa mendirikan negara atas dasar agama Islam adalah jawaban paling ideal jika tidak ingin mempunyai negara fasis seperti Jerman di masa Hitler.
Tanpa bimbingan agama, masyarakat akan liar. Ketertiban umum akan terganggu, dan keadilan sosial sudah pasti sulit terwujud. Inilah kenapa banyak yang mengharapkan Syariat Islam dijadikan dasar negara.
Salah seorang yang memiliki pemikiran itu, pada konteks Piagam Jakarta waktu itu, adalah Ki Bagus Hadikusumo (di samping Natsir). Dia dikenal pejuang keras sila pertama Piagam Jakarta. Bahkan ia memberi usulan bahwa frasa “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus saja menjadi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam.
Ada upaya negara ini berlandaskan ketuhanan dan masyarakat Indonesia diwajibkan menjalankan Syariat Islam. Jelas, Sukarno sangat menolak!
Dalam pidato, Sukarno berkata:
“Saudara-Saudara, saya bertanya: apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk satu orang, untuk suatu golongan?”
Jika masih ada yang beranggapan Piagam Jakarta adalah dalih penerapan Syariat Islam di Indonesia, ada baiknya diberi saran untuk membaca sejarah. Karena pencetus Piagam Jakarta (meskipun pada akhirnya tujuh kata dalam sila pertama dihapus) tidak memiliki pemikiran sesempit dia. []
Rumail Abbas, GusDurian Jepara, Peneliti Budaya Pesisiran di Yayasan Rumah Kartini, tinggal di: @Stakof