Karena belum ketemu mencari judul, maka untuk sementara postinganku ini saya beri judul “69”. Yang saya maksud begini: dunia itu memang kadang-kadang kebolak-balik seperti angka 69 itu. Simak saja misalnya dulu, khususnya abad 18 sampai awal abad ke-20, “Indonesia” pernah mengalami “zaman emas” di dataran Arabia, khususnya kawasan Hijaz (Makah dan Madinah), karena mampu melahirkan para ulama atau ilmuwan Islam hebat yang sangat disegani dan dihormati di Tanah Arab.
Syaikh Abdallah Abdulrahman al-Moalimin, misalnya, pernah mendokumentasikan beratus-ratus para ulama besar yang mengabdikan diri di Mekah dari abad ke abad, dan banyak di antaranya adalah para “putra daerah” Nusantara. Bagi peminat kajian keislaman, kita sudah mafhum nama-nama besar seperti Imam Nawawi Banten, Kiai Mahfud Termas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Muhammad Yasin Padang, Sayyid Muhsin Palembang, Syaikh Junaid Betawi, Syaikh Baqir Jogja, Syaikh Abdullah Muhaimin Lasem, dan masih banyak lagi hanyalah sekelumit contoh dari para ulama Nusantara yang berkiprah di Makah tadi.
Murid-murid mereka bukan hanya dari Indonesia saja tetapi dari berbagai belahan dunia, termasuk masyarakat Arab sendiri, dan banyak di antaranya menjadi tokoh-tokoh Islam berpengaruh di masanya di negaranya masing-masing. Karya-karya agung para ulama Nusantara ini yang ditulis dalam Bahasa Arab di berbagai bidang (tafsir Al-Qur’an, Hadis, fiqih, ushul, teologi, sejarah, dsb) bukan hanya dikaji di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia tetapi juga di berbagai manca negara.
Tetapi sayang seribu sayang, kini kondisinya berubah. Sangat disayangkan, para pelajar Indonesia yang belajar di Arab Saudi atau di lembaga-lembaga pendidikan Arab pada umumnya justru asing dengan nama-nama besar dan pemikiran para ulama “leluhur” mereka sendiri. Bukan hanya itu, sebagian mereka bahkan “tidak mengindahkan” dan “tidak menghargai” para ulama agung tadi hanya karena berbeda aliran keislaman (mazhab) atau pemikiran keagamaan atau lantaran berlainan kepentingan politik.
Lebih tragis lagi, mereka tidak mengakui kredibilitas keilmuan para ulama Nusantara itu hanya karena bukan Arab. Pada saat yang sama, mereka malah mengelu-elukan para “ulama impor” dari Saudi, Mesir, Qatar, Palestina, Lebanon, dlsb. Toko-toko buku dijejali dengan terjemahan-terjemahan karya para “ulama impor” ini yang sering kali terjadi benturan-benturan dengan pemahaman dan budaya lokal, sementara karya-karya monumental para ulama Nusantara sendiri yang mestinya dilestarikan justru sepi dari peredaran. Bukankah kondisi ini “sangat 69”?
Jabal Dhahran, Arab Saudi