Syaikh Az-Zarnuzi dan Ilmu yang Bermanfaat

Syaikh Az-Zarnuzi dan Ilmu yang Bermanfaat

Mencari ilmu adalah kewajiban bagi umat islam, namun kadang kita mengindahkannya. Bagaimana sebenarnya konsep mencari ilmu ini? Berikut telaah dari kitab taklim mutaalim.

Syaikh Az-Zarnuzi dan Ilmu yang Bermanfaat

 

Saat membincang tentang menuntut ilmu, maka yang terlintas dalam ingatan saya pertama kali adalah sabda Rasulullah tentang kewajiban menuntut ilmu itu bagi setiap muslim (Thalabul ‘ilmi fariydlatun ‘ala kulli muslimin wa muslimah). Juga ungkapan bahwa proses menuntut ilmu itu dimulai sejak dalam buaian hingga ke liang lahad (Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahd).

Meski itu sabda Rasulullah dan ungkapan di atas mengandung pesan yang sedemikian gamblang, entah kenapa saya belum terlalu merasakan dorongannya dalam menuntut ilmu. Bahkan ketika ditegaskan kembali oleh Hadis, “Uthlubul ‘ilma walaw bishshiyn” (tuntutlah ‘ilmu walaupun ke negeri China), pun sepertinya masih biasa-biasa saja. Dorongan baru saya rasakan setelah belajar pada Syaikh Burhanuddin Az-Zanurji melalui kitab Ta’lim Muta’allim-nya.

Dalam kitab itu dipaparkan bahwa, “Ilmu yang paling utama ialah ilmu dalam praktik, dan perbuatan yang paling utama adalah menjaga prilaku.” (Afdlalul ‘ilmi ‘ilmul haal, wa afdlalul ‘amali hifdhul haal). Semakin kuat lagi daya dorongnya setelah sang Syaikh menyampaikan syair, “Ta’allam fainnal ‘ilma zaynun liahlihi, wa fadllun wa ‘unwaanun likulli mahaamidi.” (Tuntutlah ilmu, sebab ilmu adalah penghias bagi pemiliknya, ia adalah keutamaan, dan penanda bagi setiap pujian).

Di kesempatan lain, saya juga menemukan syair yang saya lupa sumbernya dari mana. Sebuah syair yang bersahaja namun sangat mengena di dada, “Ta’allam falaysal mar’u yuwlaadu ‘aaliman walaysa akhu ‘ilmin kaman huwal jaahilu.” (Belajarlah, karena tak seorang pun yang terlahir dalam keadaan berilmu, dan orang yang berilmu itu tidak sebagaimana orang yang bodoh).

Afdlalul ‘ilmi ‘ilmul haal, wa afdlalul ‘amali hifdhul haal

Menarik sekali penegasan Syaikh Burhanuddin Az-Zanurji dalam Ta’lim Muta’allim bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu dalam praktik, dan perbuatan yang paling utama adalah menjaga perilaku.

Ya, Al Ghazali di dalam risalah kecilnya yang berjudul Alkasyfu Wattabyiyn fiy Ghuruwril Khalqi Ajma’iyn (Penyingkapan dan Penjelasan Akan Tertipunya Kebanyakan Manusia), menjelaskan bahwa ada empat kelompok dari kaum muslim yang tertipu. Pertama adalah tertipunya para ulama, kedua tertipunya ahli ibadah, ketiga tertipunya orang-orang berharta, dan keempat tertipunya ahli tashawwuf.

Para ulama akan tertipu ketika mereka tidak mewaspadai kesenjangan antara apa yang mereka katakan atas dasar ilmunya dengan apa yang mereka perbuat karena dorongan hawa nafsunya. Sebagaimana penegasan Sayyidina Ali karramallaahu wajhah, “Lisaanul haal afshahu min lisaaanil maqaal.” (Perbuatan lebih fasih—dan tentu saja lebih jujur—ketimbang perkataan).

Man izdaada ‘ilman walam yazdaad huwdan lam yazdaad minallaahi illa bu’da!” (Orang yang bertambah ilmunya namun tak diimbangi dengan bertambahnya hidayah, maka ia tidak akan bertambah apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah). Demikian Alghazali menegaskan dan mendahuluinya dengan mensyitir QS. Asysyams, 91:9-10, “Sungguh beruntung orang yang telah menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi ia yang telah mengotorinya.

Ahli ibadah menurut Al Ghazali juga akan tertipu ketika mereka mengira bahwa ibadah-ibadah lahir yang mereka kerjakan akan menjadikan timbangan amal baiknya menjadi berat kelak. Padahal ibadah-ibadah lahir itu hanyalah bagian terkecil dari perbuatan orang-orang yang bertakwa.

Akhlak yang baik itu lebih utama ketimbang amalan sebesar gunung, demikian Alghazali menegaskan.

Para ahli ibadah sering tertipu dengan perkataan orang, “Engkau adalah tauladan di muka bumi,” atau “Engkau termasuk wali dan kekasih Allah.” Mereka terbuai dengan pekataan dari orang-orang yang serupa itu. Dan tidak mengherankan jika ahli ibadah yang tertipu ini akan berkata, “Allah tidak akan mengampuni kalian selama-lamanya,” kepada orang-orang yang mencela perbuatan mereka yang bertolak belakang dengan kealimannya.

Orang-orang kaya akan tertipu meskipun mereka dengan antusias telah membangun masjid, sekolah, panti asuhan, jembatan besar, tangki-tangki air dan hal-hal lain yang tampak mulia di mata manusia. Mereka mengukir nama-nama mereka pada batu marmer agar dikenang selamanya meskipun mereka telah meninggal dunia. Mereka mengira bahwa dengan amal baiknya itu mereka berhak mendapatkan ampunan Allah.

Menurut Alghazali mereka bisa tertipu dalam dua bentuk. Tipuan pertama adalah jika ternyata harta yang didermakan itu bersumber dari perbuatan zalim, suap, korupsi, dan lain sebagainya yang diharamkan oleh Allah. Ya, jika harta itu diperoleh melalui cara yang haram maka mereka wajib bertobat kepada Allah dan mengembalikan harta-harta itu kepada orang-orang yang berhak.

Tipuan kedua, mereka mengira sudah berbuat ikhlas dalam menafkahkan hartanya dan menganggap bahwa mereka telah mendapatkan jaminan gedung di syurga. Padahal perbuatan riya, mencari pujian selain dari Allah itu adalah bagian dari dosa syirik yang bisa-bisa tak terampuni, jika mereka sampai tidak menyadarinya dan tidak sempat bertobat hingga ajal tiba.

Orang-orang sufi akan tertipu oleh pakaian, ucapan, dan sikap. Mereka menyerupai ahli tashawwuf sejati dalam hal pakaian, sikap, ucapan, sopan santun, upacara-upacara yang biasa digunakan, dan pelbagai prilakunya. Saat memelajari semua itu, mereka mengira bahwa yang demikian itu dapat menyelamatkannya. Padahal mereka belum pernah melakukan mujahadah (berperang melawan nafsu di dalam dirinya sendiri) secara sungguh-sungguh, riyadlah (latihan spiritual) dengan istiqamah, memeriksa hati secara berkesinambungan dari saat ke saat, dan lain sebagainya.

Mereka saling berebut mengejar harta haram, syubhat, harta para penguasa—termasuk hartadari para pendonor yang tidak jelas halal-haramnya, dan bersaing demi meraih sekerat roti, sekeping uang receh, dan sepucuk cinta dalam imajinasi mereka. Mereka juga saling mendengki dalam hal-hal kecil dan remeh, sebagian hendak menghancurkan cita-cita yang lain hanya karena tidak sejalan dengan kepentingannya. Demikian Alghazali memberikan paparan.

Demikian itu mengingatkan saya pada sebuah bait dalam Wedhatama warisan Mangkunegara IV, “Ngelmu iku, kalakune kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese dur angkara.” (Ilmu itu hanya akan bermanfaat apabila dijalankan. Dimulai dengan kemauan yang kuat, yaitu tekad yang tak tergoyahkan. Wujudnya adalah tunduk pada akal sehat penghalau nafsu angkara).

Ya, prilaku orang berilmu mestinya memang tidak sebagaimana orang bodoh, yang lebih memilih memperturutkan hawa nafsu ketimbang ilmunya. Apalagi jika orang tersebut telah memahami ilmu agama Islam secara substantif. Wallaahu a’lam bishshawwaab. []

Muhaji Fikriono, adalah penulis buku Hikam untuk Semua dan Puncak Makrifat Jawa. Bisa ditemui di @Hikma_Athai