212 Sebagai Gerakan dan Otoritas Politik

212 Sebagai Gerakan dan Otoritas Politik

Bagaimana 212 bisa dianggap gerakan politik?

212 Sebagai Gerakan dan Otoritas Politik
Monas tatkala aksi bela islam. Monumen ini juga dianggap sebagai representasi Jakarta.

Reuni 212 telah usai. Kegiatan ini dianggap sebagai ajang silaturahim umat Islam. Sudah dilakukan sebanyak dua kali, muncul klaim reuni 212 tahun ini dihadiri oleh 7-8 juta orang, bahkan lebih. Data ini pun kemudian kembali dipertanyakan oleh publik. Hal ini dikarenakan menurut kepolisian, yang hadir dalam reuni 212 tahun 2018 ini kisaran 40.000 orang. Di sisi lain, analisis Tirto  menunjukkan bahwa data 7-8 juta yang hadir dalam reuni 212 diragukan. Dengan analisis perbandingan luas tempat reuni 212 dengan proporsi manusia yang ada dalam tempat tersebut, Tirto menyebutkan bahwa maksimal yang hadir dalam reuni 212 kisaran 1.400.000an. Akan tetapi, tulisan ini tidak akan membahas mengenai jumlah tersebut.

Reuni 212 merupakan lanjutan kegiatan dari aksi yang terjadi pada 2 Desember dua tahun silam. Kala itu, sebagian umat Islam turun ke jalan melakukan protes terhadap Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Ahok dianggap melakukan penistaan agama dengan menyebut Al-Maidah 51.

Aksi ini dianggap “berhasil” karena pada akhirnya Ahok dijatuhi hukuman kurangan. Banyak pujian terhadap aksi 212 maupun reuni 212. Misalkan, mengumpulkan sekian banyak orang dengan tertib tanpa adanya kericuhan, tanpa adanya kotoran dan sampah, serta berlangsung damai. Sampai-sampai ada yang mempertanyakan, “Siapa yang mampu melakukan aksi dan reuni dengan massa sebanyak itu jika bukan 212?”. Pertanyaan tersebut sebenarnya tidak perlu keluar.

Hal ini dikarenakan setiap lembaga pasti akan mampu mengumpulkan orang sebanyak itu, terlebih di Indonesia ada banyak ormas yang jumlah pengikutnya sangat banyak, seperti Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah.

Pertanyaan baliknya adalah, untuk apa mengumpulkan orang sebanyak itu jika tidak memunculkan dampak positif yang nyata?
Pujian tidak berhenti pada soal jumlah saja, namun berlanjut di bagian lain. Fadli Zon mengungkapkan bahwa tanggal 2 Desember patut dijadikan Hari Ukhuwah Islamiyah karena bercermin pada aksi reuni 212. Pertanyaannya, atas dasar apa aksi reuni 212 dianggap sebagai sarana memperkuat ukhuwah?

Pertama, reuni 212 merupakan kegiatan yang muncul akibat adanya aksi 212 untuk menuntut Ahok. Pada saat itu, aksi 212 memang berlangsung damai. Namun, sejatinya di luar forum aksi tersebut, terdapat banyak sekali dikotomi pemikiran sampai-sampai ada anggapan bahwa siapa saja yang tidak mengikuti aksi 212 maka dianggap telah liberal, kafir, jadi tersesat.

Saya sendiri mengalami hal itu. Saya pribadi tidak mengikuti aksi 212. Karena sikap saya tersebut, beberapa teman yang pro aksi 212 dan ikut aksi tersebut menganggap saya membela Ahok (padahal, tidak mengikuti aksi 212 tidak selalu membela Ahok), telah kafir dan sesat. Apakah seperti itu yang dianggap ukhuwah islamiyah?

Kedua, pada reuni 212 telah ditemukan beberapa pernyataan dari beberapa tokoh 212 (semisal Habib Rizieq Shihab) yang tidak mencerminkan ukhuwah islamiyah, contohnya menjelek-jelekkan kepala negara, Presiden Joko Widodo. Bahkan, sikap beberapa orang yang pro terhadap aksi reuni 212 sama sekali tidak mencerminkan ukhuwah islamiyah, seperti Habib Bahar bin Smith yang dalam setiap ceramahnya sampai teriak-teriak dan berkata kotor serta kasar dalam menjatuhkan pemerintah, serta beberapa tokoh yang pro terhadap pergantian sistem negara dan pemerintah yang ada di Indonesia.

Realita ini juga yang sebenarnya berkebalikan dari pernyataan Fadli Zon bahwa pengikut 212 tidak akan memisahkan diri dari NKRI dan akan setia padanya. Faktanya, sebagian dari mereka justru lantang meneriakkan ganti sistem menjadi khilafah. Pertanyaannya, apakah ukhuwah islamiah mengajarkan menjatuhkan saudara seiman dan mengajarkan perpecahan dengan provokasi untuk mengganti sistem negara dan pemerintahan? Dengan demikian, aksi reuni 212 sangat jauh dari ukhuwah islamiyah, justru potensial semakin mempertebal dinding pemisah antara yang mengikuti dan yang tidak mengikuti.

Anggapan berlebihan lainnya terhadap aksi reuni 212 juga muncul, misalkan menganggap bahwa aksi reuni 212 menjadi salah satu patokan keimanan dan keagamaan seseorang. Sebagai orang yang menggeluti bidang alat ukur sikap, saya merasa tidak habis pikir, bagaimana bisa aksi reuni 212 dijadikan salah satu ukuran keimanan dan keagamaan seseorang?

Padahal, secara sederhana keimanan seseorang terdiri dari enam aspek (yaitu rukun iman), sedangkan keagamaan seseorang terdiri dari lima (yaitu rukun Islam) serta ditambah dengan sikap ihsan.

Pertanyaannya, aksi reuni 212 termasuk rukun iman dan rukun islam yang mana? Di sisi lain, belum tentu juga yang mengikuti aksi dan reuni 212 tersebut sudah mengimpelementasikan enam rukun iman dan lima rukun islam dengan baik. Beberapa teman yang mencaci maki saya dengan label kafir dan sesat karena tidak mengikuti aksi 212 justru memperlihatkan bahwa implementasi keagamaan mereka kurang, bahkan perilakunya kurang memenuhi nilai-nilai Islam. Memang, data yang saya dapatkan tersebut tidak bisa dijadikan bahan generalisasi, namun sangat bisa untuk dijadikan bantahan terhadap anggapan bahwa aksi dan reuni 212 adalah sangat mulia bak jihad semasa rasul.

Dalam acara ILC pada hari Selasa 4 Desember 2018, Fadli Zon mengungkapkan bahwa aksi 212 merupakan aksi protes terhadap ketidakadilan hukum yang lambat memproses Ahok yang dianggap menista agama. Menurutnya, reuni 212 tetap diadakan karena ketidakadilan hukum ini masih terjadi sampai saat ini, bahkan ungkapnya ketidakadilan tersebut meluas sampai pada ketidakadilan sosial.

Pernyataannya ini justru mematahkan anggapan dari kelompok reuni 212, bahwa reuni 212 tidak ada agenda politik. Reuni 212 dianggap sebagai aksi protes masih tidak tegaknya keadilan di negeri ini. Jika dirunut semakin jauh, arahnya akan semakin jelas, bahwa penyebab ketidakadilan tersebut kemudian akan ditumpukan pada presiden.

Dengan kata lain, reuni 212 menjadi simbol protes terhadap Presiden dan adanya keinginan untuk mencari solusi dari protes tersebut dengan ganti presiden. Berdasarkan hal itu, apakah salah jika reuni 212 tetap dianggap sebagai aksi politik meskipun dianggap tidak ditemukan unsur kampanye? Jika memang reuni 212 diadakan karena ketidakadilan tersebut masih berlangsung, menarik untuk menantikan tahun-tahun selanjutnya.

Hal ini dikarenakan keadilan bukan hanya terkait dengan pemimpin negara, tetapi juga menyangkut aparat penegak hukum. Artinya, keadilan yang mutlak mustahil untuk ditegakkan. Andai Prabowo yang kemudian akan memenangkan Pilpres, masih adakah reuni 212 sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan? Dan mengapa alumni 212 tidak melakukan protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh para tokoh yang mendukung kegiatan 212?

Terakhir, Asyari Usman menganggap Kompas telah secara tidak langsung menghina reuni 212. Hal ini dikarenakan Kompas tidak memuat berita tersebut di halaman muka, Kompas justru memuat berita utama yang berisi tentang masalah sampah. Atas dasar apa Kompas dianggap menghina? Bukankah penempatan peristiwa sebagai berita utama didasarkan atas berbagai segi, salah satunya segi luas dampak dari peristiwa itu? Sangat wajar jika Kompas mengangkat sampah sebagai berita utama karena sampah masih menjadi masalah serius yang harus dicarikan penanganannya.

Selain itu, dampak dari masalah sampah ini bisa mengancam kesehatan dan keberlangsungan eksosistem serta makhluk hidup di dalamnya. Jadi, apa yang salah dengan penempatan sampah sebagai berita utama? Atau, jangan-jangan reuni 212 ingin dianggap sebagai potensi masalah melebihi dari masalah sampah?

Ya, barangkali reuni 212 bisa berpotensi membuat hati seseorang terkotori dan tercemari oleh rasa marah, ‘ujub, fanatik, cacian dan makian, serta prasangka buruk.