Beberapa hari belakangan ini heboh penolakan deklarasi #2019GantiPresiden. Saya rasa penolakan tepat, karena deklarasi tersebut berbau kampanye. Anda bisa dengan gampang cek hal ini di youtube atau media sosial lainnya. Tentu saja, publik tidak lupa bahwa asal mula hastag ini dipopulerkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), khususnya politikus PKS Mardani Sera dan diikuti diikuti para politikus partai oposisi lainnya hingga seolah-olah membesar seperti sekarang ini.
Faktanya, pemilihan presiden masih tahun depan, resmi mendaftar sebagai calon presiden yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Jika dulu kita selalu bertanya-tanya siapa gerangan sosok pengganti Presiden petahana? sekarang semakin terang arah dukungannya untuk siapa. Saya, dan mungkin juga Anda, akan berpikir, kenapa tidak langsung pakai istilah politik untuk mendukung salah satu calon saja, bukan ganti presiden yang sudah terang benderang dalam perhetalan nanti menyisakan dua pilihan belaka. Jokowi atau Prabowo?
Saya sepakat kampanye yang mencuri start layak dihentikan. Kita harus pro aktif dan cerdas membaca kedok kampanye terselubung tersebut. Kita menolak pun dengan hati jernih, bukan karena pro yang satu dan kontra calon lain. Tentu sajaKita harus adil terhadap gerakan #2019GantiPresiden dari oposisi dan gerakan #2019TetapJokowi dari petahana.
Bosque, kita perlu tegas sejak dalam pikiran dan menuntut pihak terkait bekerja maksimal dalam menjaga keamanan bangsa dan negara untuk potensi konflik sosial di tengah masyarakat.
Fokus Kerja Kebangsaan dan Kemanusiaan
Mari kita kembali fokus kepada kerja-kerja kemanusiaan dan kebangsaan. Kalau semua sibuk menjelaskan peluang A dan B mendapatkan kekuasaan dan suka rela menjadi buzzer di jagat maya. Bagaimana cara kita bertukar kabar? Dan nasib hubungan kita?
Urusan pemilihan presiden biarkan pada waktunya. Jaga diri dan tidak terpancing ulah politisi yang ingin kita terbelah karena perbedaan pilihan politik. Belum lagi dengan istilah “Cebong vs Kampret” yang terkesan saling mengok-ngolok. Allah mengingatkan dengan firman-Nya surah Al Hujarat ayat 11.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mencela kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang dicela) lebih baik dari mereka (yang mencela) dan jangan pula wanita-wanita (mencela) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang dicela itu) lebih baik dari wanita (yang mencela) dan jangalah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim (Q.S. al-Hujarat :11).
Prof Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat diatas Allah melarang kita untuk mengolok-olok individu maupun golongan yang lain. Sebab, boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik di sisi Allah daripada mereka yang mengolok-olok.
Begitupula kegiatan mencela itu termasuk memanggil saudaranya dengan panggilan yang tidak disukainya. Seburuk-buruk panggilan bagi orang Mukmin adalah apabila mereka dipanggil dengan kata-kata fasik setelah mereka beriman. Barangsiapa tidak bertobat dari hal-hal yang dilarang itu, maka mereka adalah orang-orang yang menzalimi dirinya sendiri dan orang lain.
Mari konsisten menjaga politik kebangsaan, yakni visi politik yang menempatkan ke-Indonesia-an di atas kepentingan golongan, baik yang berorientasi agama, suku dan sejenisnya.
“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan,” begitu kata Gus Dur. Perkataan yang masih perlu kita renungkan. Wallahu’alam bishawab.