Saya belum pernah belajar ‘ilm al-‘Arabiyah dan menekuninya secara teratur. Kalaupun pernah belajar bahasa Arab di Darul Hijrah dalam masa yang sekadar dua tahun.
Ilmu bahasa Arab saya itu pun sebatas menghapal dan mengamalkan mufradat (sehari antara dua dan tiga kosa kata), menyimak mahfuzhat, imla’, praktek muhadharah dan muhadatsah, belajar kitab an-Nahwu al-Wadhih dan Sharf, serta beberapa ilmu dasar penunjang lainnya.
Saya juga menyenangi kaligrafi, karena itu ada hubungannya dengan kesenangan saya menggambar sejak kecil.
Alhamdulillah saya tak pernah mengeluh rumitnya belajar hal-hal demikian. Dan meski hanya dua tahun, ternyata beberapa dari yang dipelajari itu masih menempel dengan kuat di kepala hingga kini. Terutama ketika saya mulai belajar agama kembali, yang menjadi bagian dari bawah sadar itu menyeruak dalam kesadaran hari ini.
Dalam tradisi pesantren, ilmu-ilmui di atas disebut sebagai “ilmu alat”.
Ilmu alat harus dipunya untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya dalam khazanah keilmuan Islam, yang tujuan akhirnya tak lain dan tak bukan agar seorang muslim menyadari “keberadaan” Allah dan Rasul-nya, menaatinya, menaati kewajiban-kewajibannya, menyadari hak-haknya, yang dengan itu dapat hidup secara kaffah dalam naungan Islam (keselamatan, dunia dan akhirat). Dunia dan akhirat memang dua hal yang tak terpisahkan dalam pandangan (kosmologi) Islam.
Ada satu masa ketika “kebudayaan” Arab masuk-mengaliri, hidup dan menghidupi kebudayaan-kebudayaan lainnya. Percampuran budaya meniscayakan “penyimpangan-penyimpangan” dari kesadaran “kaidah” awal.
Masa-masa itu mendorong orang-orang yang berilmu untuk menata dan mendisiplinkan cabang-cabang keilmuan. Bukan untuk memisahkan hal-hal yang bersifat niscaya dan mempertentangkannya, tapi untuk menegaskan batasan agar orang-orang paham jika terjadi kekeliruan pemahaman yang potensial menciptakan konflik sia-sia.
Dholim ibn ‘Amr ibn Sufyan atau yang lebih dikenal sebagai Abul Aswad (16 SH-69 H), adalah orang yang diperintahkan Khalifah Ali ibn Abi Thalib untuk menata kaidah-kaidah gramatika Arab, dalam kaitannya sebagai bahasa al-Qur’an dan Hadis, memberi baris dan titik pada rangkaian huruf yang awalnya “gundul” itu.
Jika kita kembali pada prototype yang dikembangkan dari aksara Nabatea, orang-orang setengah pengembara yang mendiami kawasan yang membentang antara Sinai dan Arabia Utara hingga Suriah, kita memang akan mendapati rangkain goresan seperti ranting dan cabang pohon tanpa daun dan buah-buahnya.
Karena secara lisan orang Arab sudah terbiasa menghapalkan dan mengucapkan kalimat-kalimat panjang berima, mereka tak ada masalah dengan “semak pohon kaktus” itu.
Namun ketika Islam disebarkan dan menyebar di luar lingkaran orang Arab yang memegang teguh “ucapan”, dan terjadi kekeliruan atau penyimpangan lahjah maka dirasa perlu menata aksara dan bahasa untuk menghindari lahn (kesalahan ucap) yang berakibat pada perubahan makna ayat dalam al-Qur’an dan Hadis, dan kesalahpahaman dalam memahami keduanya.
Abul Aswad sendiri tinggal di Bashrah dan pernah menjadi gubernur Bashrah. Sebelumnya, ketika Ibnu ‘Abbas menjadi gubernur Bashrah ia dipercaya sebagai qadhi’ (hakim agama), dan ketika Ibnu ‘Abbas dipindahkan Khalifah Ali menjadi gubernur Hijaz, Abul Aswad menggantikan posisinya di Bashrah.
Perubahan aksara Nabatea, yang terbaca pada inskripsi Umm al-Jimal (250 M) dan Imru’ al-Qays (328 M) serta Zabad (512 M), menjadi huruf-huruf yang digunakan secara umum di kalangan terpelajar Arab Utara dikembangkan lebih jauh di Arabia Timur Daya, terutama di kawasan Hirah dan Anbar, pada abad ke-5 M. Dari sini lalu ke Hijaz di Arabia Barat.
Bishri ibn Abdul Malik yang memperkenalkan huruf-huruf tersebut ke Mekkah, dibantu teman sekaligus mertuanya Harb ibn Umayyah. Harblah yang memopulerkan penggunaannya di kalangan bangsawan Quraisy, dan darinya Imam Ali dan beberapa sahabat lain seperti Umar, Utsman, Thalhah, Abu Ubaydah al-Jarrah dan Muawiyah mempelajari penulisan huruf-huruf tsb.
Saya kira sampai di sini cukup jelas sejarah awalnya, bagaimana hubungan bahasa dan aksara Arab sebagai alat menyampaikan al-Qur’an dan Hadis. Mari, kita jelang Ashar. (16 Juli 2017)